Event Pemerintah Aceh 2014

KEGIATAN HIMIPOL View all

ACEH View all

Ini Dia Hasil Koreksi Mendagri Terkait Qanun Wali Nanggroe

Berikut hasil Koreksian Mendagri terkait Qanun Wali Nanggroe Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: a. Konsideran menimbang huruf a dan huruf c qan

Saat ini DPR Aceh sedang menggodok rancangan Qanun tentang Bendera d

   RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR ....... TAHUN 2012

KABAR TERAKHIR

Jadwal dan Tata Cara Pendaftaran Ulang SNMPTN Unimal 2014

Mahasiswa Ilmu Politik Unimal Kunjungi KIP Kota Lhokseumawe

Mata Kuliah dan Materi Kuliah Jurusan Ilmu Politik Unimal

8 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unimal Diyudisium

Unimal Peringati Hut RI Ke 68 Tahun

Ini Dia Hasil Koreksi Mendagri Terkait Qanun Wali Nanggroe

Polisi Dinilai Gagal Jaga Keamanan Aceh

OPINI View all

Ada Apa Dengan Pengesahan Bendera Bulan Bintang di Aceh?

Oleh Safrizal* KEBERADAAN Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh merupakan amanah dari hasil Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerak

Kritikan Untuk Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Oleh Safrizal* Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh merupakan amanah Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

BEASISWA View all

Ini Dia Persyaratan Beasiswa di MPD Aceh Utara

Berikut persyaratan untuk memperoleh beasiswa dari pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang disediakan khusus untuk mahasiswa Aceh Utara dengan jenj

KULIAH KERJA NYATA View all

[PENGUMUMAN] Untuk Mahasiswa KKN PPM Unimal Tahun 2012/2013

Berikut pengumuman yang disampai panitia Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Malikussaleh tahun 2012/2013: Diharapkan kepada semua DPL (Dosen Pemb

[FOTO] Pembekalan Mahasiswa KKN PPM Unimal Tahun 2012/2013

HIMIPOL UNIMAL | Sebanyak 850 Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN), Pembelajaran Pemberdayaan Masyar

850 Mahasiswa Unimal Mengikuti Pembekalan KKN PPM Tahun 2012/2013

Dok: HIMIPOL UNIMAL - Pembekalan KKN PPM Unimal tahun 2012/2013 di GOR AAC Cunda Kota Lhokeumawe

Jadwal dan Peserta KKN PPM Unimal Tahun 2013

HIMIPOL UNIMAL | Berikut jadwal dan jumlah peserta Kuliah Kerja Nyata Pengabdian Kepada Masyarakat

KAMPUS View all

Ini Alamat Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Se-Indonesia

DOK HIMIPOL: Foto Bersama 17 Delegasi mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan se-Indonenesia di  FISIP UGM Yogyakarta dalam acara Politic an

Sikap ASNLF di Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa

Besok, PBB Bahas HAM Pemerintah Indonesia

Yusuf Daud [Anggota Acheh Sumatra National Libeartion Front (ASNLF). Pernyataan ini Disampaikan pada Sidang HAM UPR di Jenewa]Jum`at, 25 Mei 2012 11:08 WIB
 
“Kekerasan sudah pasti menjadi satu bagian penting dari sejarah singkat Indonesia. Pemerintah Indonesia secara sistematis telah melanggar  hak asasi manusia yang  fundamental selama lebih dari 20 tahun ini dan terus melakukannya tanpa adanya hukuman.” Laporan Asia Watch 1990

Hampir 30 tahun lamanya Aceh menjadi ladang pembantaian bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kemudian diganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam upaya mereka untuk menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) - salah satu pergerakan untuk membebaskan Aceh dari Republik Indonesia.

Selama rentang waktu tersebut, ribuan jiwa rakyat Aceh yang tidak bersalah telah menjadi korban pembunuhan, termasuk sebagai korban pembunuhan diluar hukum, pembantaian massal, penyiksaan, penangkapaan secara sewenang-wenang serta penghilangan secara paksa. Kebrutalan yang terjadi tersebut telah pula terdokumentasi secara rinci baik oleh organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) lokal maupun organisasi-organisasi HAM international.

Sungguh sangat disayangkan bahwa kelakuan-kelakuan brutal yang dimaksudkan di atas dan juga pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia semasa konflik Aceh telah berhasil ditutup-tutupi atau bahkan dilupakan dengan adanya Perjanjian Helsinki di tahun 2005.


Pada Desember 2004, Aceh dilanda bencana Tsunami yang mengakibatkan sekitar 200, 000 jiwa rakyat Aceh meninggal dunia. Bencana alam ini ditambah dengan perang yang berkepanjangan telah mengantar kedua belah pihak, yaitu Indonesia dan GAM, ke meja perundingan. Sebuah perjanjian pun akhirnya disepakati pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, ibu kota Finland.  Dan, karena itu, berakhirlah  salah satu  perang yang terpanjang di Asia Tenggara.

Banyak pengamat yang menganggap bahwa penyebab utama keberhasilan perundingan Helsinki adalah kerelaan GAM untuk meninggalkan opsi “merdeka” dari agenda perundingan. Namun menurut sebagian pakar tentang konflik Aceh seperti Aspinal (2005), keberhasilan perundingan tersebut justru disebabkan oleh “melemahnya kekuatan GAM yang disebabkan oleh operasi-operasi brutal darurat militer,” yang dilakukan sebelum datangnya tsunami.

Sebagai hasil dari perundingan tersebut, GAM diberikan status “pemerintah sendiri” yang didalamnya termasuk hak-hak untuk membuat partai lokal, Pengadilan HAM (PH), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta  amnesti untuk tahanan politik dan lain sebagainya.

Dunia pun menarik nafas lega bahwa salah satu perang kotor Indonesia, setelah Timor Leste,  berakhir dalam sekejap. Rakyat Aceh yang paling terkorbankan dalam konflik ini pun berduyun-duyun keluar ke jalan-jalan untuk menyambut berita damai dengan doa dan air mata bahagia.


Sekarang, tujuh tahun telah berlalu,  rakyat Aceh telah menyaksikan sendiri bagaimana aktor-aktor perjanjian Helsinki, yaitu mantan GAM dan pihak Indonesia,  telah mempermainkan jiwa-raga dan masa depan rakyat Aceh.

Kebanyakan Janji Helsinki seperti pengadilan HAM dan KKR serta lebih dari selusin poin-poin penting lainnya dari MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tetap belum terlaksana. Dan dalam kenyataannya, aktor-aktor tersebut malah lebih sibuk mencari jalan pintas untuk memutihkan  kasus-kasus masa lalu daripada membuat qanun yang diperlukan bagi kasus tersebut untuk dibawa ke jalur hukum.

Bahkan mereka yang paling fanatik kepada proses perdamaian Helsinki pun kini sudah mulai pesimis bahwa kedua badan HAM penting, yaitu Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksudkan untuk menyediakan akses keadilan bagi korban kekerasan militer tersebut akan berhasil didirikan di Aceh.

Organisasi-organisasi HAM lokal dan nasional tidak habis-habisnya menyuarakan dan menuntut pelaku-pelaku pelanggaran HAM baik yang terjadi di masa lalu maupun sekarang untuk segera dibawa ke pengadilan, namun segala usaha mereka itu belum membawakan hasil.

Organisasi Pusat Transisi Keadilan Internasional (ICTJ) yang berbasis di New York (laporan 1998) mengatakan bahwa dalam proses pembinaan damai, suara korban itu tidak boleh diabaikan, karena mereka itu adalah aktor-aktor yang penting. Karena damai itu sendiri merupaka sebuah proses, tambah ICTJ lagi,  maka keadilan harus ditegakkan dengan cara membongkar akar dari pokok permasaalahan contohnya dengan mengubah institusi-institusi yang terkait dengan pelanggaran HAM yang dimaksud.

Pelanggaran HAM di Aceh sudah dianggap sebagai masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Hal ini mengakibatkan pelanggaran HAM dalam bentuk yang sama masih saja terus berlangsung sampai saat ini walaupun keadaan di Aceh sudah damai. Tentunya efek dari kekebalan hukum tersebut sangatlah jelas kita rasakan yang secara nyata telah diakibatkan secara langsung oleh perbuatan Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak konsisten dalam menanggulangi kasus-kasus HAM masa lalu. Oleh karena itu, selama hak penentuan nasib sendiri dan hak kebebasan fundamental bangsa Aceh belum terpenuhi, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut pun tidak akan pernah berkesudahan.

Uskup Carlos Belo dari Timor Leste, pemenang Hadiah Nobel Damai, berkata: “Ketika sebuah  pemerintahan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tidak pernah terjadi, sedangkan di depan kita hadir korban-korban yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tesebut memang pernah terjadi, maka pemerintahan tersebut akan kehilangan kredibilitas dan kekuasaannya.  Tidak ada satu pemerintahan  yang memerintah dengan menggunakan kekerasan yang  bisa bertahan kecuali dengan terus  menggunakan kekerasan. Tidak ada jalan mundur, karena kekerasan tetap hanya akan  melahirkan kekerasan, dan para pelaku kejahatan hidup dalam ketakutan akan kemungkinan menjadi korban dari kejahatan itu sendiri dikemudian hari.”

Sekarang terserah kepada Indonesia sendiri untuk membuktikan ketidak-benaran pernyataan di atas, dan merupakan tugas masyarakat international untuk membantu Indonesia untuk mewujudkan bahwa  “Tidak ada satu pemerintahan yang memerintah dengan menggunakan kekerasan bisa bertahan kecuali dengan terus menggunakan kekerasan”  itu tidak benar.


Sumber: http://www.theglobejournal.com

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply