Memperingati
hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP
Universitas Malikussaleh mengelar mimbar bebas hari Jum’at. Kegiatan itu
sebagai refleksi semangat Boedi Utomo 83 tahun lalu.
Pada kegiatan Mimbar Bebas Peringatan Hari Sumpah Pemuda bertema
Semangat Pemuda dalam memajukan Bangsa dan Negara tersebut mahasiswa
menguraikan patriotisme anak muda yang mampu mendorong orang tua untuk
memerdekakan Indonesia dari penjajah asing ketika itu.
Semangat anak-anak muda dikatakan merupakan cikal-bakal menuju
Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, demikian pekik seorang
mahasiswa dari atas mimbar. Mahasiswa ilmu politik ini menyampaikan
berbagai gagasan secara luas baik dalam konteks ke-Aceh-an, Nasional dan
bahkan menyorot perkembangan politik Internasional.
Taufik Abdullah, Dosen Ilmu Politik, saat membuka kegiatan mimbar
bebas mengemukakan bahwa peran pemuda perlu meretas ruang dan waktu
serta tidak berhenti berbuat kebajikan demi kemajuan, perdamaian dan
menjaga keutuhan negara.
“Semangat kepemudaan Aceh mulai lentur ketika para pemuda tidak lagi
menjadi penghubung kepentingan rakyat, ini terjadi ketika pemuda
mementingkan diri sendiri dan menolak kemapanan,” ujar Dosen Taufik. Ia
juga mengatakan, katanya, semangat perubahan itu mesti bergelora dalam
jiwa pemuda. Hanya saja perubahan itu tidak merusak tatanan yang ada.
Kedepan, pemuda Aceh dipinta tetap menjadi ujung tombak perekat
kebhinekaan (persatuan), merawat perdamaian dan memperjuangkan
kesejahteraan rakyat.
Dipandu Jefri Sosetyo, mahasiswa baru sampai lettu (letting tua) naik
mimbar silih berganti. Agam Khalilullah menyerukan semangat gerakan
sosial, mengawal pemerintah dan penguasa agar mereka bertanggungjawab
mensejahterakan rakyat.
Ini perlu menjadi komitmen gerakan kepemudaan kata Agam. Aceh ke
depan dalam negara kesatuan Republik Indonesia mesti berdaulat dan
mandiri. Berbagai ketimpangan masa lalu tidak boleh terulang kembali.
Agam minta berbagai bentuk pelanggaran HAM mesti diusut tuntas. Qanun
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semestinya sudah
terlaksana. Negara dalam banyak hal masih berbuat zalim berbanding
usaha-usaha mensejahterakan rakyat, teriak Agam dengan mengepal dan
mengangkat tangan kirinya.
Soal perwujudan kesejahteraan digugat pula oleh Zulhelmi. Negara ini
omong kosong belaka. Padahal untuk mewujudkan kesejahteraan sudah ada
Undang-Undang Nomor 33 tentang Kesejahteraan namun dalam prakteknya
tidak ada. Penguasa selama ini tidak peduli apa yang dipikirkan rakyat.
Penguasa lupa dengan kepentingan rakyat.
Lalu, Jefri mengulasnya lebih tajam. Globalisasi membuat pemerintah
kita seperti agen-agen kepentingan asing. Tak heran katanya sumber daya
alam digadaikan dan dikuasai kepentingan asing sehingga kemiskinan
terus mengelinding. Belum ada formula bagaimana mengeluarkan rakyat dari
kemiskinan kata Jefri.
Seterusnya, Bisma Yadhi Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himipol) tampil pula. Dengan lantang ia mengugat; kita mahasiswa harus berpikir tidak hanya pada tataran global, tetapi bagaimana pemuda harus merubah diri dan masyarakatnya terlebih dahulu. Kenapa pemuda kurang dipercaya tanya bisma ? Ini karena terjebak pada kepentingan sempit.
Pemuda semestinya berpikir keras menyikapi situasi sosial politik
yang terbelenggu oleh kepentingan sempit. Pemuda tidak lagi mengusung
gagasan usang. Pemuda bukan tukang pasang spanduk dan mencari sesuap
nasi dari para kandidat saat Pilkada. Bisma juga menyorot lemahnya
kepemimpinan Aceh saat ini—juga mengulas kepemimpinan kampus dan
pemilihan Dekan FISIP Unimal baru yang sebentar lagi akan berlangsung.
Bisma menyesalkan tidak ada calon muda yang tampil untuk menyemangati
perubahan. Katanya, kita tidak dapat berharap banyak pada orang tua
namun kita butuh orang tua yang mampu melahirkan pemikiran dan
perubahan. Boleh tua tapi harus proggresif. Mengutip Gramci, Bisma
membidas “sekarang krisis otoritas. Yang tua sudah mati sementara yang
muda belum lahir”.
Diantara banyak mahasiswa yang tampil terakhir secara khusus Haris,
mahasiswa semester satu ini, mengkritik persoalan konflik regulasi.
Katanya, Pemuda Aceh bukan hanya menggalang kekuatan menolak dan
mendukung Pilkada tepat waktu. Akan tetapi kewenangan dan kekhususan
Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU dan UUPA harus diperjuangkan,
agar kelak Aceh bisa merawat identitasnya dengan baik dalam NKRI. (Gambar ilustrasi: Aulia Fitri)
Tidak ada komentar: