Event Pemerintah Aceh 2014

Mahasiswa Unimal Gelar Mimbar Bebas Sumpah Pemuda

sumpah-pemudaMemperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh mengelar mimbar bebas hari Jum’at. Kegiatan itu sebagai refleksi semangat Boedi Utomo 83 tahun lalu.

Pada kegiatan Mimbar Bebas Peringatan Hari Sumpah Pemuda bertema Semangat Pemuda dalam memajukan Bangsa dan Negara tersebut mahasiswa menguraikan patriotisme anak muda yang mampu mendorong orang tua untuk memerdekakan Indonesia dari penjajah asing ketika itu.
Semangat anak-anak muda dikatakan merupakan cikal-bakal menuju Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, demikian pekik seorang mahasiswa dari atas mimbar. Mahasiswa ilmu politik ini menyampaikan berbagai gagasan secara luas baik dalam konteks ke-Aceh-an, Nasional dan bahkan menyorot perkembangan politik Internasional.

Taufik Abdullah, Dosen Ilmu Politik, saat membuka kegiatan mimbar bebas mengemukakan bahwa peran pemuda perlu meretas ruang dan waktu serta tidak berhenti berbuat kebajikan demi kemajuan, perdamaian dan menjaga keutuhan negara.

“Semangat kepemudaan Aceh mulai lentur ketika para pemuda tidak lagi menjadi penghubung kepentingan rakyat, ini terjadi ketika pemuda mementingkan diri sendiri dan menolak kemapanan,” ujar Dosen Taufik. Ia juga mengatakan, katanya, semangat perubahan itu mesti bergelora dalam jiwa pemuda. Hanya saja perubahan itu tidak merusak tatanan yang ada. Kedepan, pemuda Aceh dipinta tetap menjadi ujung tombak perekat kebhinekaan (persatuan), merawat perdamaian dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Dipandu Jefri Sosetyo, mahasiswa baru sampai lettu (letting tua) naik mimbar silih berganti. Agam Khalilullah menyerukan semangat gerakan sosial, mengawal pemerintah dan penguasa agar mereka bertanggungjawab mensejahterakan rakyat.

Ini perlu menjadi komitmen gerakan kepemudaan kata Agam. Aceh ke depan dalam negara kesatuan Republik Indonesia mesti berdaulat dan mandiri. Berbagai ketimpangan masa lalu tidak boleh terulang kembali. Agam minta berbagai bentuk pelanggaran HAM mesti diusut tuntas. Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semestinya sudah terlaksana. Negara dalam banyak hal masih berbuat zalim berbanding usaha-usaha mensejahterakan rakyat, teriak Agam dengan mengepal dan mengangkat tangan kirinya.

Soal perwujudan kesejahteraan digugat pula oleh Zulhelmi. Negara ini omong kosong belaka. Padahal untuk mewujudkan kesejahteraan sudah ada Undang-Undang Nomor 33 tentang Kesejahteraan namun dalam prakteknya tidak ada. Penguasa selama ini tidak peduli apa yang dipikirkan rakyat. Penguasa lupa dengan kepentingan rakyat.

Lalu, Jefri mengulasnya lebih tajam. Globalisasi membuat pemerintah kita seperti agen-agen kepentingan asing. Tak heran katanya sumber daya alam digadaikan dan dikuasai kepentingan asing sehingga kemiskinan terus mengelinding. Belum ada formula bagaimana mengeluarkan rakyat dari kemiskinan kata Jefri.

Seterusnya, Bisma Yadhi Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himipol) tampil pula. Dengan lantang ia mengugat; kita mahasiswa harus berpikir tidak hanya pada tataran global, tetapi bagaimana pemuda harus merubah diri dan masyarakatnya terlebih dahulu. Kenapa pemuda kurang dipercaya tanya bisma ? Ini karena terjebak pada kepentingan sempit.

Pemuda semestinya berpikir keras menyikapi situasi sosial politik yang terbelenggu oleh kepentingan sempit. Pemuda tidak lagi mengusung gagasan usang. Pemuda bukan tukang pasang spanduk dan mencari sesuap nasi dari para kandidat saat Pilkada. Bisma juga menyorot lemahnya kepemimpinan Aceh saat ini—juga mengulas kepemimpinan kampus dan pemilihan Dekan FISIP Unimal baru yang sebentar lagi akan berlangsung.

Bisma menyesalkan tidak ada calon muda yang tampil untuk menyemangati perubahan. Katanya, kita tidak dapat berharap banyak pada orang tua namun kita butuh orang tua yang mampu melahirkan pemikiran dan perubahan. Boleh tua tapi harus proggresif. Mengutip Gramci, Bisma membidas “sekarang krisis otoritas. Yang tua sudah mati sementara yang muda belum lahir”.

Diantara banyak mahasiswa yang tampil terakhir secara khusus Haris, mahasiswa semester satu ini, mengkritik persoalan konflik regulasi. Katanya, Pemuda Aceh bukan hanya menggalang kekuatan menolak dan mendukung Pilkada tepat waktu. Akan tetapi kewenangan dan kekhususan Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU dan UUPA harus diperjuangkan, agar kelak Aceh bisa merawat identitasnya dengan baik dalam NKRI. (Gambar ilustrasi: Aulia Fitri)