Event Pemerintah Aceh 2014

CUT NYAK MUTIA (1870-1910)

CUT NYAK MUTIA

Cut Meutia lahir di Perlak, Aceh, pada tahun 1870. Masa remajanya dilalui dalam suasana perang antara Aceh dan Belanda. Karena Belanda tiba di negeri Serambi Mekkah tersebut ketika Cut Meutia sudah berusia 3 tahun (1873). Hal tersebut mengakibatkan jiwanya tergoncang akan pertikaian tersebut. Bersama suaminya yaitu Teuku Cik Tunong, mereka membentuk dan melakukan penyerangan-penyerangan ke patroli Belanda pada pedalaman Aceh. Hal itu terjadi pada bulan Mei 1905, yang mengakibatkan Cik Tunong tertangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman tembak di tempat. 

Menghadapi kematian suaminya, Cut Meutia semakin garang dalam melawan pasukan Belanda. Begitu juga dengan pasukannya yang pantang menyerah. Mereka semua bahu-membahu menguatkan barisan dan menyusun serangan-serangan yang mampu membuat Belanda gentar. Setelah suaminya meninggal dunia, Cut Meutia memimpin barisan perang. Agar tidak diketahui oleh pasukan Belanda, Cut Meutia kerap berpindah-pindah tempat untuk melakukan penyerangan secara mendadak. Mengenai statusnya, Cut Meutia tidak berlama-lama menjanda. Beliau kemudian menikah kembali dengan Pang Nangru, yang tak lain adalah kawan akrab dari Cik Tunong. Keduanya semakin bersemangat dalam memimpin pasukannya menghadapi pasukan Belanda dan mampu mengacaukannya.

Pameo yang mengatakan wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya. 

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial. 

Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya. 

Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya. 

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda. 

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie. 

Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut. 

Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak. 

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda. 

Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai. 

Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri. 

Kematian Pang Nangru membuat beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda. 

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan. 

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya. 

Pada tanggal 26 September 1910 meletuslah pertempuran di daerah Paya Cicem yang mengakibatkan tewasnya Pang Nangru. Tetapi Cut Meutia dapat meloloskan diri. Setelah kejadian itu beliau lalu diserahi wewenang untuk memimpin pasukan yang hanya mempunyai kekuatan 45 orang dengan 13 pucuk senjata. Bersama anaknya Raja Sabil yang masih berumur sebelas tahun, Cut Meutia melanjutkan perjuangannya. Strategi pasukan mereka adalah dengan melakukan perpindahan tempat penyerangan. Karena penderitaan yang diterima olehnya, maka beberapa pihak keluarga membujuk Cut Meutia untuk segera turun gunung dan menyerah kepada Belanda. Tetapi beliau tetap 5aja menolaknya. 

Sikap pantang menyerah tidak hanya terjadi pada Cut Meutia dan pasukannya, tapi juga dari pihak lawan yaitu Belanda. Berbagai cara dilakukan hanya untuk mengetahui keberadaan dari Cut Meutia. Sampai akhirnya tempat persembunyiannya dapat juga diketahui Belanda. Tanpa menunggu waktu yang lama peperangan dahsyat pun terjadi di Alue Kurieng pada tanggal 24 Oktober 1910. Cut Meutia mengadakan perlawanan. Pertempuran pun tak terelakkan, sampai akhirnya Cut Meutia tertembak kakinya dan tersungkur di tanah. Belanda menyuruh beliau untuk menyerah, tetapi tidak dihiraukannya. Cut Meutia bangkit dan dengan menghunuskan senjata beliau menyerang musuh. Ketika hendak menyerang kembali, beliau tertembak untuk kedua kalinya sehingga menembus tubuhnya sampai tewas pada saat itu juga. Pemerintah RI memberikan kepadanya tanda jasa atas perjuangan yang dilakukannya dengan mengangkat sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 2 Mei 1964 sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 107/Tahun 1964. 

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Sumber

  • [http://Kerta Wijaya. 2007. Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan tokoh Pergerakan Nasional. Reset Agung: Jakarta. Hal. 60-62.

Sumber kutipan: http://acehpedia.org

3-5-1469: Lahirnya Filsuf Nicollo Machiavelli

Lukisan potret Niccolo Machiavelli oleh Santi di Tito (Wikimedia Commons / Palazzo Vecchio)

Tepat 543 tahun yang lalu, filsuf Niccolo Machiavelli lahir. Dikenal sebagai pendukung utama penyatuan Italia, Machiavelli dikenal sebagai salah satu bapak teori politik modern, karena analisisnya mengenai perilaku pemimpin politik masih dipakai hingga kini.

Menurut The History Channel, Machiavelli sudah terjun ke gelanggang politik di kota kelahirannya di Florence pada usia 29 tahun. Sebagai Menteri Pertahanan, Machiavelli menerapkan kebijakan-kebijakan yang memperkuat posisi Republik Fiorentina secara politik. Ketika itu Italia masih terpecah dalam beberapa kerajaan, republik, maupun wilayah feodal.

Dia menunjukkan keahlian dalam berdiplomasi saat bertemu dengan sejumlah pemimpin, seperti Raja Louis XII dari Prancis, Paus Julius II, Kaisar Roma Maximilian I, dan Pangeran Cesar Borgia dari Negara-negara Kepausan.

Perilaku Borgia mengundang inspirasi bagi Machiavelli untuk menulis artikel dalam bentuk pamflet, yang berjudul "Il Principe" (Sang Pangeran) pada 1513. Kumpulan artikel yang akhirnya disusun menjadi buku pada 1532 itu menuangkan pemikiran-pemikiran cemerlang Machiavelli mengenai perilaku pemimpin dan gaya politik yang realis.

Dalam Il Principe, Machiavelli mengungkapkan kesamaan tujuan yang dicapai para pemimpin politik di Eropa waktu itu. Mereka sama-sama berambisi mencapai kejayaan, atau sekadar mempertahankan rezimnya dan bisa membenarkan penggunaan cara-cara yang amoral untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

Analisis Machiavelli ini sampai sekarang menjadi salah satu teori utama dalam studi politik, hukum dan hubungan internasional dalam menjelaskan perilaku atau sistem politik suatu rezim. Pemikiran ini populer disebut Machiavellianisme. Lalu muncul pula istilah "Machiavellian," yang digunakan untuk menggambarkan aksi yang diambil untuk mencapai tujuan di gelanggang politik, entah itu dengan cara yang benar atau salah.   Machiavelli menulis Il Principe saat dia tidak lagi jadi pejabat Republik Fiorentina. Saat itu, Fiorentina tak ubahnya seperti wilayah feodal saat dikuasai Keluarga Medici.

Namun, buku itu mengundang masalah bagi Machiavelli. Dia jadi tidak disukai penguasa Fiorentina, Keluarga Medici. Dia pun terasing dari masyarakat Kota Florence.

Sejak saat itu Machiavelli tidak pernah disambut lagi di gelanggang politik. Bahkan, saat Republik Florentina didirikan lagi pada 1527, Machiavelli menjadi sasaran kecurigaan. Dia wafat pada 21 Juni 1527 di usia 58 tahun. Kumpulan tulisannya, Il Principe, dibukukan lima tahun kemudian. 
 
Editor: Safrizal
Sumber:  VIVAnews.com