Aceh Utara Panen Durian
Posted by HIMIPOL UNIMAL on Selasa, 17 Juli 2012
[Durian siap untuk dihidangkan] |
Harga durian yang mencapai Rp. 5,000 sampai dengan Rp. 20,000 tersebut merupakan harga yang bervariasi karna tergantung dari besar dan kecilnya buah durian.
warga sedang menawarkan harga durian |
Dimana masyarakat Aceh Utara khususnya setiap tahun selalu menikmati buah durian dari hasil kebunnya sendiri, biasanya panen durian setiap tahun sekali, namun kebanyakan musim panen tersebut pada bulan Juli atau menjelang bulan suci ramadhan.
Bagi masyarakat Aceh panenya durian itu bagai datangnya hari lebaran yang mendatangi saudara-saudaranya untuk menikmati durian tersebut.
Untuk menikmati durian biasanya disediakan berbagai macam menu sebagai bahan pelengkap hidangan, seperti pulut dan kentan. Karna dengan adanya pulut dan kentan hidangan durian menjadi terasa dan enak.
Sejumlah agen durian berkumpul |
Pada bulan ini masyarakat Aceh Utara panen dengan duria khusnya di beberapa Kecamatan dalam Kabupaten Aceh Utara seperti Kecamatan Paya Bakong, Pirak Timu, Nisam, Cot Girek, Langkahan, serta Simpang Keuramat.
Bila anda ingin mendapatkan durian bisa mendatangi langsung ke kebun masyarakat karna selain harganya yang murah juga dapat memilih sendiri sesuai dengan keinginan, namun bila anda tidak memungkinkan membeli durian ke kebun bisa mendapatkan di pasar baik pasar kecamatan maupun pasar kabupaten/kota, tetapi harganya tidak sama dengan harga yang dijual oleh masyarakat, karna mengingat adanya agen durian yang mendatangi langsung ke kebun masyarakat tentu harganya sedikit berbeda. [Safrizal]
Terlambat Rapat dan Sibuk Main Ponsel- Wagub Aceh Ditegur Sutan Bhatoegana
Posted by HIMIPOL UNIMAL on
Muzakir Manaf [wagub Aceh] |
Peristiwa memalukan itu terjadi saat pertemuan Pemprov Aceh dengan Komisi VII dan Dirjen Minyak dan Gas Bumi di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh kemarin. Sutan jengkel dengan kelakuan Muzakir yang dinilainya tak serius mengikuti rapat membahas persoalan Aceh. Bukan hanya itu, Muzakir yang duduk di samping Sutan, mewakili Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang sedang di luar daerah,juga ditegur karena sibuk memainkan ponsel saat rapat sedang berlangsung.
“Kalau Bapak Wagub sibuk, kami izinkan bapak untuk meninggalkan rapat ini. Saya lihat Bapak dari tadi, saat rombongan kami memperkenalkan diri,tampak tidak serius mendengar,”ucap Sutan kesal. Rombongan Komisi VII, kata politikus Partai Demokrat itu, datang semata-mata karena perhatian dan cinta dengan Aceh. “Saya juga orang suka pakai ponsel, tapi tidak untuk di sini,” timpal Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat itu. Sebelumnya Sutan juga meradang karena pertemuan yang sedianya berlangsung pukul 09.00 WIB molor gara-gara menunggu wakil gubernur.
“Ini tuan rumah ke mana, biasanya mereka tunggu kita,ini kokmalah kita yang menunggu mereka,” ucapnya. Dia sempat meminta protokoler kantor gubernur untuk mencari tahu ke mana mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka itu.Sementara Muzakir Manaf yang belum sebulan menjabat wakil gubernur meminta maaf atas keterlambatannya. “Mohonmaaf,tidak ada maksud saya tidak menghargai apalagi melecehkan rombongan yang datang ke sini,”sebutnya.
Menurutnya,pertemuan ini sangat penting. Dia mengaku ada 10 pertemuan yang harus dihadiri hari ini serta melayani masyarakat.Karena merasa ini paling penting, dia menyempatkan diri hadir. Muzakir mengatakan, menjelang Ramadan dia sibuk melayani masyarakat. Dia juga harus menggantikan gubernur yang sedang keluar kota.“Sekarang semua tumpuan berpulang ke saya karena Pak Gubernur sedang ada pelantikan Bupati Aceh Singkil,”ungkapnya.
Setelah mendengar permohonan maaf Muzakir, rapat membahasproduksimigas Aceh dan persoalan kesejahteraan rakyat itu berjalan kembali. [sumber SI]
Editor: Safrizal
Adat Perkawinan Masyarakat Aceh Dalam Intat Lintoe
Posted by HIMIPOL UNIMAL on
Intat Lintoe Baroe |
Tradisi adat dan budaya Aceh yang pernah dilakukan orang Aceh sebelumnya sebagai lambang atau ciri khas masyarakat Aceh dalam setiap acara perkawinan sampai saat ini terus di budayakan oleh anak cucunya sebagai warisan budaya orangtua.
Adat dan budaya perkawinan tersebut yang perlu di bawa ketika mengantar pengantin laki-laki meliputi ranup meutalóè, batéé ranup, u seulasön, aneu u, teubéì meu ôn, bakông asóê, bungkông sutra, dan méutulak pantòn, termasuk doem drien setelah acara menikah dan perkawinan selesai. Namun adat dan budaya tersebut yang mudah di dapat seperti di Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireun serta Aceh Timur dan beberapa daerah lain mungkin agak berbeda-beda adat dan budayanya.
Khusus untuk Aceh Utara adat dan budaya intat lintoe baroe (mengantar pengantin laki-laki) sebagai berikut:
Ranup meutalóè (sirih) biasanya masyarakat adat menghiasi dengan berbagai macam bentuk yang di campur dengan pinang, gula serta kapur sirih. Ranup meutalóè ini dibawa oleh pengantin laki-laki (linto baro) kepada pasangan pengantinya (dara baroe) ketika acara peresmian dilangsungkan. Sedangkan batéé ranup merupakan sirih yang di masukan dalam panci, kemudian diletkkan pada tempat penerimaan tamu sebagai adat pemuliaan jamei (tamu) untuk di makan terlebih dahulu sebelum menikmati hidangan yang disediakan.
U Seulasön merupakan kelapa yang dihiasi, dimana kulit luar kelapanya dikupas, biasanya hanya meninggalkan sedikit kulit luar untuk di buat tali sebagai ikatan, yang kemudian di ikat satu sama lain. Guna dan manfaat u seulasön ini untuk pengantinnya sendiri di kemudian sebagai bahan masakan dan keperluan lain sebagainya, karna mengingat pengantin baru tentu kelapanya yang kepunyaan sendiri belum ada.
Aneuk u (bibit kelapa) merupakan salah satu adat yang menarik ketika intat lintoe karna aneuk u ini di desain dengan berbagai bentuk seperti pesawat, kapal laut, tank, mobil, mesin perontok padi, namun desain tersebut di buat berdasarkan daerah, misalnya daerah pengunungan bibit kelapa ini didesain seperti mesin belah kayu (sensoe) karna daerah tersebut banyak pohon, daerah kota di desain seperti mobil, daerah pinggiran laut didesain seperti kapal laut dll. Guna dan maksud di bawa bibit kelapa ini dalam mengantar pengantin laki-laki untuk ditanam oleh sang lintoe baroe dan dara baroe sebagai bentuk awal dari kehidupan baru.
Teubéì meu ôn (tebu) juga merupakan salah satu adat masyarakat Aceh dalam perkawinan, bila teubéì meu ôn ini belum ada tentunya perkawinan di batalkan, namun dalam setiap perkawinan teubéì meu ôn sudah terlebih dahulu di siapkan sang linto baroe (pengantin laki-laki) untuk di bawa ke dara baroe (pengantin perempuan) ketika inta linto (mengantar pengantin laki-laki) di langsungkan.
Nah, bagaimana dengan bakông asóê (tembakau), bakông asóê ini biasanya di gunakan oleh orangtua atau nenek-nek untuk menghangatkan badan, namun bagi yang belum pernah mencoba bakông asóê tentu saja merasakan pusing ataupun mual. Dalam setiap intat lintoe bakông asóê ini dibawa kepada dara baroe yang dihiasi dengan berbagai macam bentuk. Guna dan manfaat bakông asóê untuk menghargai orangtua atau nenek-nenek.
Bungkoh Sutra |
Selain itu, adanya bungkông sutra yang merupakan kumpulan dari semua aksesoris dara baroe seperti baju, rok, kain, kosmetik, sandal, kerudung, perlengkapan shalat, dll. Biasanya bungkông sutra ini di sediakan pihak lintoe baroe untuk diserahkan kepada permaisurinya dara baroe. Guna dan manfaat untuk memenuhi kelengkapan sang kekasihnya dalam berumah tangga.
Meutulak pantòn (balas pantun) merupakan adat perkawinan ketika sang lintoe baroe datang ke istana kekasihnya yang di antar oleh kerabatnya, dimana sebelum memasuki ke istana (pelaminan) sang raja si uroe (raja sehari) di berhentikan dulu oleh pihak istana dara baroe guna untuk menjawab beberapa pantun yang disediakan, bila pihak raja tidak bisa membalasnya atau menjawab maka didenda oleh pihak ratu (dara baroe) baik berupa uang maupun tambahan mahar atau mas kawin. Sampai saat ini méutulak pantòn tersebut sudah jarang ditemukan ketika ada acara perkawinan.
Dara Baroe (pengantin perempuan) |
Bagaimana dengan doem drien (pengawal pengantin), doem drien ini merupakan tradisi adat yang dijalankan masyarakat Aceh setelah acara pernikahan dan perkawinan selesai, dimana doem drien ini dilakukan beberapa malam di rumah pengantin. Guna dan manfaat doem drien tersebut untuk mengawal atau menemani sang pengantin baru, karna mengingat mereka belum saling mengenal. Tapi sekarang doem drien itu tidak pernah lagi di lakukan karna setiap pasangan yang menikah tentu saja sudah saling mengenal melalui pacaran atau tunangan.
Selain itu, tradisi perkawinan masyarakat Aceh juga mengguakan pakaian dan umbul-umbul adat dan budaya Aceh serta tidak terlepas dengan upacara peusijeuk (tepung tawar) kepada kedua pasangan linto baroe dan dara baroe.
Editor: Safrizal