Event Pemerintah Aceh 2014

Kebebasan Akademik Itu...

Oleh Sulistyowati Irianto
Tahun 2050, penduduk dunia diramalkan mencapai 9 miliar. Manusia akan menghadapi problem sangat kompleks. Mulai dari kekurangan pangan, air bersih, krisis energi, ancaman penyakit, kerusakan hutan, hingga semakin hancurnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Bagaimanakah sikap para ilmuwan Indonesia menghadapi masalah kemanusiaan di masa depan? Mampukah perguruan tinggi di Indonesia melahirkan puncak kreativitas dan inovasi, sejajar dengan perguruan tinggi lain di dunia?

Universitas adalah gerakan moral tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dengan kapasitas intelektual dan kepeduliannya yang tinggi punya potensi sangat besar untuk ikut mengatasi berbagai persoalan dunia di masa depan.

Namun, potensi itu saja tak cukup. Ada hal mendasar yang sangat dibutuhkan, yaitu kebebasan akademik! Inilah landasan moral para ilmuwan untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya. Jika menghendaki bangsa yang kuat, kebebasan akademik tak boleh dibatasi oleh siapa pun, bahkan harus didukung sepenuhnya oleh negara melalui perangkat hukum.

Di Jerman dan Filipina, kebebasan akademik termuat dalam konstitusi. Bagaimana Indonesia? Sesudah 66 tahun Indonesia merdeka serta menjadi negara demokrasi dan rule of law, kebebasan akademik yang paling esensial itu pun masih harus diperjuangkan.

Universitas setiap saat dapat diintervensi pemerintah dalam bentuk apa pun, antara lain dengan dalih ketergantungan dana kepada pemerintah. Padahal, secara konstitusional sudah kewajiban negara untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara, termasuk menghidupi universitas. Jadi, tidaklah tepat apabila universitas menggadaikan kebebasan akademiknya, lalu dikontrol pemerintah, dengan alasan kegiatan operasionalnya dibiayai pemerintah. Bukankah itu sudah merupakan kewajiban negara?

Otonomi universitas

Pemerintah di negara-negara maju bahkan ada yang mendanai 100 persen, tetapi tidak mencampuri urusan pendidikan tinggi. Hampir di seluruh dunia—bahkan di sejumlah negara berkembang, termasuk ASEAN—universitas sudah menjadi independen, tetapi pemerintah tetap tidak melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendanaan. Ada banyak pemerintah yang bahkan menciptakan skema pinjaman keuangan kepada para mahasiswa untuk membiayai kuliah mereka.

Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam hal memandirikan perguruan tinggi. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa prestasi ilmuwan Indonesia termasuk yang rendah di dunia meski ada banyak orang pandai di negeri ini. Pemerintah bahkan tidak memiliki konsep mendasar. Kebijakan yang diambil pun ”tambal sulam”, yang justru menuai banyak kritik. Contohnya, mensyaratkan kelulusan mahasiswa dengan tulisan di jurnal ilmiah tanpa paham apa kriteria dan standar tulisan ilmiah itu.

Ketidakmandirian pendidikan tinggi juga menjelaskan mengapa banyak ilmuwan Indonesia yang sangat pandai lari ke luar negeri, membaktikan dirinya untuk kemajuan bangsa lain. Di sini mereka tidak mendapatkan laboratorium yang memadai dan kesejahteraan lahir batin yang dibutuhkan untuk sampai pada puncak prestasi akademik. Atmosfer akademik tak menunjang. Adakalanya ilmuwan tidak bisa bersuara karena terbelenggu oleh kedudukannya dalam hierarki birokrasi akademik.

Kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam universitas yang otonom. Di dalamnya terdapat persyaratan tata kelola dan aksesibilitas publik terhadap pendidikan tinggi.

Kebebasan akademik adalah hak setiap profesor, staf pengajar, dan peneliti terkait kegiatan mereka dalam pengajaran dan penelitian. Tentu saja yang sejalan dengan tradisi universitas, kode etik, prinsip toleransi, dan obyektivitas.

Profesor bebas menentukan isi kuliahnya dan menerbitkan hasil penelitian tanpa meminta persetujuan. Akademisi hanya mengabdi pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan, terbebas dari kepentingan politik praktis dan agama tertentu dalam tugasnya. Jangan terulang lagi masa kelam Orde Baru saat pemerintah mencengkeram universitas dan membungkam akademisi.

Kebebasan akademik juga ada pada institusi, yaitu kebebasan untuk mengangkat pegawai, menetapkan standar masuk bagi mahasiswa. Mahkamah Agung Amerika pernah memutuskan bahwa kebebasan akademik universitas adalah untuk menentukan sendiri siapa boleh mengajar, apa yang diajarkan, bagaimana cara mengajar, dan siapa yang diizinkan untuk belajar.

Independensi universitas

Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.

Apabila universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.

Otonomi universitas setali tiga uang dengan tata kelola universitas, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik untuk ikut mengontrol. Ada otonomi untuk mengelola keuangan sendiri dan tidak melibatkan birokrasi kementerian yang rawan korupsi seperti selama ini. Semakin terkait dengan birokrasi keuangan pemerintah, semakin tersedia celah bagi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.

Aksesibilitas masyarakat, khususnya kelompok rentan secara ekonomi dan sosial, harus dapat dijamin dalam universitas yang otonom. Pendanaan universitas tidak boleh mengandalkan dari bayaran mahasiswa, tetapi dari negara, korporasi dengan corporate social responsibility (CSR)-nya, dan kegiatan-kegiatan penelitian yang hebat.

Tujuan dari otonomi adalah memampukan para ilmuwan untuk sampai pada puncak prestasi akademik, seperti yang diamanatkan para pendiri bangsa ini. Kreativitas dan inovasi ilmuwan dinantikan masyarakat ilmiah dunia untuk bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan di masa depan.

Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas dan negara. Mahkamah Konstitusi pernah membuat ”kesalahan” dengan putusan finalnya yang mematikan cikal bakal otonomi perguruan tinggi. Para profesor terbaik bangsa ini sekarang sedang berjuang merumuskan RUU Pendidikan Tinggi. Semoga kesalahan tidak terulang kembali, demi kejayaan Indonesia.

*Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Kejadian 5 Mei

Karl Marx Lahir

Tanggal 5 Mei tahun 1818, Karl Marx, filsuf Jerman pendiri aliran Marxisme, terlahir ke dunia. Marx menuntut ilmu di Universitas Berlin dengan mendalami bidang sejarah dan filsafat. Ketika kuliah itulah ia berkenalan dengan kelompok anti agama dan anti otokrasi pendukung pandangan filsuf Jerman, Hegel. Setelah meraih gelar doktor, ia diundang oleh kelompok politik oposisi beraliran Hegel untuk menjadi penulis utama di koran mereka. Marx kemudian menulis artikel-artikel yang menentang pemerintah dan mendapat sambutan luas dari masyarakat. Akibatnya, koran tersebut ditekan oleh pemerintah dan Marx pun  mengundurkan diri. Pada tahun 1843, Marx menikahi Jenny von Westphalen dan kemudian mereka pindah ke Paris. 


Di Paris, Marx mempelajari ekonomi politik dan sejarah revolusi Perancis. Di Perancislah Marx memulai kritiknya terhadap agama dan membangun konsep komunismenya. Pada tahun 1844, Friedrich Engels datang ke Paris dan bertemu dengan Marx untuk pertama kalinya. Mereka berdua lalu bekerjasama dalam membangun pemikiran-pemikiran revolusioner dan komunis. Karya-karya bersama mereka  di antaranya berjudul “The Holy Family", "The German Ideology," dan "The Communist Manifesto".

Napoleon Bonaparte Meninggal Dunia

Tanggal 5 Mei tahun 1821,  Napoleon Bonaparte, mantan kaisar Perancis, meninggal dunia di tanah pengasingan. Napoleon dilahirkan pada tahun 1769 dan pada usia muda, ia masuk Akademi Militer Perancis. Karir militer Napoleon semakin meningkat pasca Revolusi Perancis tahun 1789 dan pada tahun 1802, rakyat perancis memilihnya sebagai Konsul  seumur hidup. Pada tahun 1804, Napoleon dinobatkan sebagai Kaisar Perancis. Napoleon sangat berambisi untuk memperluas wilayah kekuasaannya sehingga periode kekuasaannya dipenuhi dengan berbagai peperangan. Namun pada tahun 1812 setelah mengalami kekalahan besar dari Rusia,  kekuatan Perancis semakin melemah. 
 
Setelah kalah dalam melawan pasukan gabungan Rusia, Inggris, dan Austria pada tahun 1814, Napoleon digulingkan dari kekuasaannya dan dibuang ke pulau Elba. Namun Napoleon berhasil melarikan diri dari Pulau Elba  dan kembali ke Perancis untuk merebut kekuasaan. Setelah 100 hari berkuasa, Napoleon kembali digulingkan setelah kalah dalam Perang Waterloo melawan Inggris. Ia pun ditawan Inggris dan dibuang ke pulau St. Helen dan enam tahun kemudia ia meninggal dunia.

Bobby Sands Meninggal

Tanggal 5 Mei tahun 1945, Bobby Sands, seorang pejuang kemerdekaan Irlandia, meninggal dunia setelah melakukan aksi mogok makan. Bobby Sands dilahirkan tahun 1954  dan hidup bersama orangtuanya di tempat penampungan. Sepanjang hidupnya Bobby dan keluarganya banyak mendapat tekanan dan intimidasi dari kelompok pro Inggris dan kondisi hidup yang berat ini membuat semangat nasionalismenya bangkit untuk memperjuangan kemerdekaan Irlandia.  

Pada usia 18 tahun, Bobby Sands bergabung dengan  Gerakan Republik. Pada tahun 1972, ia ditahan  dan empat tahun kemudian kembali dibebaskan, namun ia tetap meneruskan perjuangannya. Enam bulan kemudian ia kembali ditahan. Selama dalam penjara, ia mulai menulis artikel-artikel perjuangan yang dimuat di Republican News. Pada tanggal 27 Oktober 1980,  menyusul macetnya perundingan antara penguasa Inggris dan pemimpin Katolik Irlandia, Bobby dan tujuh tawanan lainnya memulai aksi mogok makan. Selama 17 hari pertama masa mogok makannya, Bobby menulis buku harian secara rahasia yang berisi pemikiran dan pandangan perjuangannya. Setelah 65 hari mogok makan, Bobby Sands akhirnya meninggal.

Dua Dosen Unimal Menjadi Pemateri di Swedia

HIMIPOL UNIMAL  |  Iskandar Zulkarnaen SE MSi (dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dan Dr Ichsan Mahammed Ali Basyah (dosen Fakultas Ekonomi) Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, Kamis (3/5) menjadi pemateri pada seminar internasional yang diadakan Departemen Ilmu Politik Universitas Stockholm, di Swedia. Seminar yang digelar dari 2-4 Mei 2012 diikuti 30 peserta yang berasal dari akademisi universitas terkemuka di dunia.

Iskandar Zulkarnaen SE MSi  kepada www.serambinews.com, kemarin, dalam seminar tersebut mereka menyampaikan materi dalam seminar itu berjudul “Aceh: Konflik Pembangunan Setelah Perjanjian Helsinki”, serta tentang proses pelaksanaan pilkada di Aceh. “Kita juga akan mengajak kerja sama dengan universitas terkemuka dunia untuk peningkatkan mutu di Unimal,” ujar Iskandar.

Dengan demikian kita sebagai mahasiswa UNIMAL pada umumnya dan khususnya mahasiswa jurusan ilmu politik di FISIP UNIMAL merasa banggga  bahwa perkembangan dan kemajuan pendidikan politik di Aceh sudah saatnya tumbuh. Sehingga dengan kemajuan tersebut kita harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat  secara menyeluruh dengan konsep mengedepankan etika dan moral politik. 

Editor: Safrizal
Sumber Kutipan: www.serambinews.com