Event Pemerintah Aceh 2014

Diskusi Tengah Malam Membawa Kepanasan

Catatan Safrizal
Malam itu hujan menyelimuti daerah pengunungan Aceh Utara, tiupan angin yang begitu kencang,  suasana malam gelap bagai tahun 1920-an, kediginan malam menusuk tulangku, tetapi hatiku tetap bertahan melawan arus tersebut sambil menikmati segelas kopi tercampur telor ayam.

Empat orang teman duduk di sebelah kanan ku sambil menikmati mie goreng, tiba-tiba petir menghantam sebuah pohon di depan warung kopi yang sedang kami duduk, air dan mie goreng kami terpaksa terbang akibat goyangan bangku yang begitu dahsyat ketika kami lompat ke dalam warung kopi, untung saja air saya tinggal seperempat gelas, sementara mie goreng teman baru dicicipi.

Menjelang tengah malam hujan pun mulai meninggalkan daerah kami, suasana malam yang begitu dingin warung kopi tersebut di penuhi dengan pelanggan yang memesan kopi panas, terpaksa aku tidak pulang mengingat ada teman yang ingin berdiskusi.

Hampir dua jam saya berdiskusi dengan mereka, tiba-tiba ada pertanyaan dari teman, mungkinkah “Aceh Merdeka”, belum sempat saya jawab, sudah ada teman yang menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat dan tegas “Mungin” tapi sekarang belum saatnya untuk merdeka, karna masih banyak memerlukan energy dan pikiran yang matang untuk menuju sebuah negara yang berdaulat.

Rupanya yang menjawab tersebut adalah seorang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), nah… berarti bagi mereka masih tetap memikirkan Aceh untuk merdeka, dengan cara perang urat saraf (politik), tidak lagi memperjuangkan merdeka melalui senjata karna selain menganggu kenyaman hidup juga taruhannya nyawa.

Namun bagaimana dengan mereka (petinggi) mantan GAM yang saat ini telah terjun ke dunia politik baik di DPR maupun di Eksekutif, apakah mereka sejalan dan searah dengan mantan GAM yang lain, tanya seorang teman ke mantan GAM tersebut.

Mungkin searah dan sejalan dengan mantan GAM yang lain, jawabnya. Teman-teman yang lain ragu dan tidak percaya dengan jawab tersebut, lalu mengeluarkan pendapat, bagi mereka (DPR dan Eksekuti) tidak akan sempat memikirkan Aceh merdeka, belum lagi masalah kesejahteraan rakyat yang masih merajalela. Diskusi terus memanas sambil mengeluarkan pendapat dengan kata-kata yang sopan dan tidak menyinggung perasaan teman.

Jarum jam pun mulai menghampiri di nomor 3, satu persatu teman minta pamit pulang, diskusi akhirnya tidak tersambung lagi.