Event Pemerintah Aceh 2014

Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah

Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah
Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah
Setelah mangkatnya Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin pada tahun 1688, terjadi perselisihan pendapat antara lembaga panglima tiga sagi dan Majelis Orang Kaya tentang keabsahan wanita menjadi sultanah. Isu ini sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman Sultanah Tajul Alam Safiatuddin tetapi dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin menjadi Sultanah. 

Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan rencana diangkatnya Zinatuddin sebagai Sultanah. Walaupun demikian, pada akhirnya ia tetap dilantik menjadi sultanah karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang menjadi sultanah ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi dan kebetulan lembaga ini mendukungnya karena Zinatuddin masih adik Sultanah Zakiatuddin dan diangkat ia dianugerahi gelar Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah.


Alasan Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin adalah: pertama karena menurut mereka Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Di antara hadis yang menjadi pegangan mereka adalah : Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (al-hadis). Artinya :

Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan.
Seperti dijelaskan dalam hadis dan kedua berdasarkan fakta setelah dipimpin oleh tiga orang sultanah berturut-turut Aceh ternyata tidak bertambah jaya namun sebaliknya semakin mundur terbukti dengan banyaknya daerah bawahan yang melepaskan diri.

Di sisi lain, argumetasi Majelis Orang Kaya dipatahkan oleh Lembaga Panglima Tiga Sagi dan tetap mempertahankan Zinatuddin karena berdasarkan fakta bahwa di kalangan kerajaan Islam sebelumnya telah ada perempuan yang memerintah kerajaan dan tidak ada masalah dengan kerajaan yang mereka pimpin. Para perempuan yang pernah menjadi sultanah itu adalah Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan Sultanah Raziah di Delhi India dan bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah.

Majelis Orang Kaya tetap mencari celah agar Zinatuddin turun dan tahta kesultanan. Di antara upaya yang mereka lakukan untuk menurunkan dan tahta kesultanan itu adalah dengan minta fatwa ke Mekkah tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu beberapa lama, tibalah fatwa yang dinantikan. Mufti Mekkah ternyata mengeluarkan fatwa haram bagi wanita menjadi pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan antara ulama yang pro dan kontra dan akhirnya berimbas pada ruang politik dengan turunnya Zinatuddin dan tahta kesultanan.

Walaupun menurut peraturan yang ada, kekuasaan untuk mengangkat dan menurunkan sultan di tangan lembaga panglima tiga sagi, di era ini lembaga panglima tiga sagi tidak sekuat pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin karena pengaruh Panglima Polem dan 22 mukim tidak sebesar pengaruh kakeknya yang merupakan keturunan langsung dan Iskandar Muda walaupun bukan dan isteri pertama. Faktor lain adalah adanya desakan Majelis Orang Kaya yang semakin keras setelah dikeluarkannya fatwa haram dan Mufti Mekkah disamping fakta semakin lemahnya Aceh sejak lima puluh tahun diperintah oleh tiga pemimpin perempuan. Hal ini semakin memperkuat kedudukan pihak oposisi yang ingin menggulingkan Zinatuddin.

Kedudukan teritorial Aceh yang semakin lemah juga menjadi faktor mengapa Sultanah Zinatuddin harus lengser dan tahtanya. Banyak daerah di Sumatera yang melepaskan diri dari Aceh sejak Belanda menekan Aceh pada tahun 1667 di antaranya Sumatera Timur dan Barat.

Demikian juga memperlemah ekonomi dan perdagangan Aceh karena sejak Sumatera Timur dan Sumatera Barat lepas, mereka mengalihkan perdagangan komoditas penting seperti emas, lada dan timah melalui sungai Siak, Rokan, Kampar, dan Inderagiri ke pelabuhan di kawasan timur Sumatera dan selanjutnya di angkut melintasi Selat Malaka ke Sungai Ujong. Naning, dan Rembau di Semenanjung Melayu.

Sama dengan para pendahulunya. Sultan Kamalat Syah juga menerbitkan uang emas dengan tulisan Paduka Seri Sultanah Zinatuddin dan dibaliknya Kamalat Syah Berdaulat.

Apa yang dilakukan daerah Sumatera Timur dan Sumatera Barat juga dilakukan daerah Perak dan Kedah. 
Pengaruh Aceh di kedua daerah ini menjadi lemah dan lama-lama dikuasai orang-orang Bugis yang bersaing dengan Belanda.

Memburuknya keadaan ekonomi dan politik yang membuat rakyat Aceh tidak puas dengan Kamalat Syah plus fatwa mufti Mekkah yang mengharamkan pemimpin kerajaan perempuan mengharuskan Kamalat Syah turun tahta pada bulan Oktober 1699.

Setelah turun tahta, Kamalat Syah diganti oleh suaminya yang bernama Sayid Hasyim Jamalulail dan Hadramaut yang juga keturunan Rasulullah SAW Hadramaut. Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim Jalamulail diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Karena ketika diangkat sudah uzur, Ia memerintah Aceh dalam waktu yang relatif singkat dan turun tahta pada tahun 1702 dan mangkat dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama.

Sumber: http://acehpedia.org

AS Siap dengan Rencana Serangan ke Iran

Lokasi fasilitas pengayaan nuklir Iran yang dimasalahkan negara-negara Barat.
Amerika Serikat telah "siap" dengan opsi militer jika upaya diplomatik gagal untuk menghentikan program nuklir Iran, utusan AS untuk Israel mengatakan, sebuah surat kabar Israel melaporkan, Kamis (17/5/2012).

"Akan lebih baik untuk menyelesaikan ini secara diplomatik melalui penggunaan tekanan daripada dengan kekuatan militer," kata utusan AS, Daniel Saphiro, dalam pertemuan dengan asosiasi pengacara Israel, seperti dikutip surat kabar nasionalis Makor Rishon.

"Tapi bukan berarti pilihan (aksi militer) tidak ada. Bukan hanya tersedia, tapi juga siap. Perencanaan yang diperlukan sudah dilakukan untuk memastikan (rencana) itu siap," Makor Rishon mengutip Saphiro.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS di Washington, Victoria Nuland, mengatakan, ucapan Saphiro senada dengan kebijakan Gedung Putih.

"Yang dikatakan Duta Besar Saphiro mencerminkan sepenuhnya yang selama ini dikatakan Presiden (Barack Obama), bahwa meskipun kami melanjutkan perundingan P5 +1 dengan Iran dan berharap dapat menyelesaikan masalah ini melalui diplomasi, opsi pilihan tetap terbuka," katanya.

Amerika Serikat, Israel, dan banyak masyarakat internasional percaya progam nuklir Iran hanya untuk menutupi pembuatan senjata nuklir. Tuduhan itu dibantah keras oleh Iran.

Washington telah menerapkan kebijakan mendorong sanksi keras terhadap Iran, namun tetap membuka pintu untuk penyelesaian diplomatik.

Setelah berhenti selama 15 bulan, Iran dan negara-negara P5 +1 kekuatan, yakni lima negara anggota tetap Dewan Keamanan (Inggris, China, Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat) ditambah Jerman, akan bertemu di Istanbul pada pertengahan bulan April lalu. Perundingan itu digambarkan "positif" dan negara-negara itu akan bertemu lagi di Baghdad, Irak, pada Rabu depan.

Israel menunjukkan sikap skeptis tentang perundingan itu. Menurut mereka, pembicaraan-pembicaraan itu hanya memberi waktu pada Teheran untuk membuat senjata nuklirnya.

Pada Senin (14/5/2012), Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengatakan bahwa tuntutan terhadap Teheran "begitu minimalis sehingga bahkan jika Iran  menerima semua tuntutan itu, Iran masih bisa melanjutkan dan memajukan program nuklirnya."

Barak bertemu Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta di Pentagon untuk kali ketiga, Kamis (17/5/2012), dalam beberapa bulan terakhir. Dia berterima kasih karena Washington menjanjikan 70 juta dollar AS untuk pendanaan lebih banyak sistem persenjataan antirudal Iron Dome Israel.

Sebelumnya, sejumlah laporan mengatakan, Iran kemungkinan menghadapi serangan awal oleh Israel atau Israel dengan sekutu NATO-nya, jika menurut mereka tidak ada cara lain untuk menghentikan Iran meningkatkan kemampuan nuklirnya. Namun masyarakat intelijen bagi  Israel maupun AS meyakini Iran belum mengambil keputusan politis untuk membuat bom.

Sementara itu, AS kemungkinan akan menerapkan lebih banyak sanksi terhadap Iran, sebab Senat tengah mendiskusikan sebuah paket (sanksi) baru pada Kamis. Sanksi-sanksi itu akan berfokus pada bank-bank asing yang menangani transaksi perusahaan minyak dan tanker nasional Iran. 
Sumber: http://internasional.kompas.com

Menanti KKR Aceh

Mahasiswa Tuntut Qanun KKR
Oleh Saifuddin Bantasyam

KINI, beberapa komponen masyarakat mulai membicarakan lagi keberadaan Komisi Kebenaran dan Re
konsiliasi (KKR) di Aceh. Selama hamoir dua pekan terakhir ini saja, misalnya, isu tentang KKR setidaknya berkembang dalam sejumlah forum. Di antaranya, di LBH Aceh dengan topik “Tantangan dalam Pembentukan KKR Aceh” yang menghadirkan Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), M Nasir Djamil (Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI) dan Abdullah Saleh (Anggota DPRA). Kemudian, kampanye melawan lupa dalam bentuk roadshow oleh Koalisi NGO HAM di Universitas Muhammadyah Aceh dan di Unsyiah, dengan tema “Kebenaran di Masa Depan”. Roadshow ini direncanakan akan dilaksanakan juga di enam universitas lainnya di Aceh.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memerintahkan pembentukan KKR melalui sebuah qanun. Nah, apakah Qanun KKR Aceh akan segera disahkan oleh DPRA? Hanya DPRA yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun DPRA jelas memiliki utang kepada masyarakat, utamanya para korban pelanggaran HAM yang ingin mencari keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu.

Janji DPRA
Pada 2010 lalu, DPRA pernah berjanji akan memprioritaskan Qanun KKR, namun sampai sekarang, janji itu tak dipenuhi. Di pihak lain, para korban konflik yang didukung oleh beberapa LSM dan mahasiswa, terus mendesak agar hak-hak mereka dipulihkan. Tuntutan agar DPRA memberi perhatian kepada KKR bukan datang tiba-tiba tanpa alasan. Melalui Abdullah Saleh dari Fraksi PA, DPRA berjanji bahwa akan membahas Rancangan Qanun KKR itu dalam bulan Mei ini (Serambi Indonesia, Rabu 2/5). Juga, anggota mayoritas di DPRA saat ini adalah dari Partai Aceh (PA).

Ditarik ke proses damai Aceh, MoU Helsinki yang antara lain menyebut tentang perlunya pembentukan KKR di Aceh, dapat dianggap mewakili suara GAM sendiri, yang kini sebagian anggotanya bertransformasi dalam organisasi politik Partai Aceh (PA). Usulan KKR di dalam RUU Pemerintah Aceh tak juga lepas dari dukungan DPRA pada 2005, dan sebagaimana kemudian kita tahu UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengatur dengan jelas tentang perintah pembentukan KKR di Aceh. Tetapi di atas semua itu, harus dipastikan bahwa tanggung jawab itu memang tidak terletak pada satu atau dua atau lebih partai, melainkan pada DPRA sebagai sebuah institusi.

Jadi, berharap banyak kepada DPRA saat ini, merupakan langkah yang tepat. Ketepatan ini bahkan didukung oleh realitas bahwa Pemerintah Aceh sendiri sudah menyelesaikan draf Qanun KKR Aceh, melalui pembentukan suatu kelompok kerja, meskipun kemudian terdengar informasi bahwa Qanun KKR Aceh akan menjadi qanun inisiatif DPRA. Saya kira, informasi bahkan membuat harapan menjadi lebih besar; tak ada halangan lagi bagi adanya pembahasan terhadap draf Qanun KKR itu di lembaga legislatif.

Memang ada beberapa masalah yang muncul, bahkan sejak tahun 2008, terkait dengan KKR di Aceh tersebut. Misalnya, ada keengganan dari sejumlah pihak untuk pembentukan KKR, termasuk sebagian warga masyarakat. Mereka antara lain menyebut bahwa jika KKR dibuat di Aceh, maka luka-luka lama akan “bernanah” kembali, atau KKR itu hanya membangkitkan batang terendam.

Menurut sebagian yang lain, saat KKR dibentuk, perdamaian juga akan berpotensi untuk terganggu. Bagi saya, keraguan semacam itu, lebih tersebabkan kurangnya sosialisasi mengenai esensi yang sebenarnya dari “proyek” KKR itu.

Masalah lain terkait dengan klausul di dalam UUPA sendiri. Dalam Pasal 229 ayat 1 diatur: Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Tetapi, pada ayat 2 diatur: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masalahnya, UU No. 27/2004 tentang KKR Nasional telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 setelah adanya judicial review terhadap UU tersebut. Ini kemudian menimbulkan ketidakpastian terhadap pembentukan KKR di Aceh melalui sebuah qanun.

Saya sendiri cenderung berpendapat pembentukan KKR Aceh tak harus menunggu lahirnya UU KKR Nasional yang baru, tersebabkan UUPA sudah dengan jelas menyebutkan bahwa KKR di Aceh dibentuk dengan UU tersebut. Secara teknis, ini kemudian (harus) bermuara pada pembentukan dan kemudian pengesahan Qanun KKR.

Intinya, bahwa KKR di Aceh tidak harus mati bersamaan dengan matinya UU tentang KKR itu. Jika pun ada pandangan yang mengaitkan dengan UU KKR Nasional, saya tetap beranggapan bahwa sebaiknya Qanun KKR disahkan saja, dan kemudian menunggu reaksi dari Kementerian Dalam Negeri terkait dengan penautan KKR Aceh dengan KKR Nasional di dalam UUPA.

Esensi KKR

KKR tak ada urusannya dengan soal balas dendam. KKR juga bukan suatu lembaga pengadilan untuk penghukuman. Keberadaan komisi itu harus dibaca dalam kerangka bagaimana suatu pemerintahan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa. Fokus KKR lebih kepada hak korban, yang susah didapatkan melalui Pengadilan HAM, termasuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

KKR akan membantu menyelesaikan masalah di masa lalu dengan kredibel dan penuh perhitungan. Keberadaan KKR juga dapat mendidik publik dan dapat meningkatkan kewaspadaan umum berkaitan dengan akibat pelanggaran HAM, dan membantu mencegah pengulangannya di masa depan.

KKR juga akan memberikan penilaian mengenai akibat pelanggaran HAM itu terhadap korban. Melalui KKR, kebenaran diharapkan dapat dikuakkan dengan cara yang adil dan transparan. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.

Setelah kebenaran dapat diungkapkan, maka KKR menjadi forum tempat mempertemukan ke dua belah pihak tersebut. Di sini, konsep “memaafkan” atau bahkan kemudian “melupakan” akan lebih diuji, dalam konteks rekonsialiasi. Dan bagian ketika dari KKR itu adalah membuat rekomendasi bagi program reparasi atau restitusi dan kompensasi yang menyeluruh bagi para korban.

Beberapa penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa KKR tidak semestinya dipandang sebagai suatu momok yang menakutkan. Alih-alih merusak perdamaian, KKR malah bagian terpenting dari proyek menjaga perdamaian itu sendiri. Berbagai negara yang pernah masuk dalam pusaran konflik pun, sudah membuat lembaga tersebut, dan sebagian besar cerita dari negara itu adalah cerita sukses.

Jadi, mari kita ingat masa lalu itu dalam konteks rekonsiliasi dan perhatian kepada korban, bukan kepada penghukuman. Melupakan masa lalu itu berbahaya, bahkan “mereka yang tak peduli dengan masa lalu, dihukum untuk mengulanginya.” Maka, datanglah KKR Aceh dan berikan berikan keadilan kepada para korban.

* Saifuddin Bantasyam, Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. 

PA versus PNA

Partai Nasional Aceh (PNA)
Oleh Aryos Nivada 
PASKA Pilkada 2012, banyak bermunculan partai politik baru salah satunya Partai Nasional Aceh (PNA). Tentunya terbentuknya partai ingin melakukan perubahan bagi Aceh sesuai dengan harapan masyarakat Aceh. Kemunculan partai baru ini membawa khasanah pilihan bagi rakyat Aceh. Selain itu menunjukan kepada nasional bahwa politik di Aceh sangat dinamis tidak statis. Tidak salah label Aceh sebagai provinsi yang memberikan varian baru di negara kesatuan ini.
Partai Aceh

Kehadiran PNA mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi di Indonesia. Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik baru. Nah apakah kehadiran PNA muncul harapan baru atau skeptis di pikiran dan hati nurani rakyat Aceh. Semua akan terjawab pada saat Pemilu 2014.

Kita mengetahui muncul skeptis karena ulah elite politik yang menjadikan partainya sebagai kendaraan meraih kekuasaan dan kepentingan bagi kelompoknya. Sedangkan harfiahnya hadirnya partai memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Jangan sampai ‘nafsu birahi’ lebih kuat daripada menjadi pelayan rakyat.

Lantas kemunculan PNA apakah mampu memberikan persaingan dengan partai mayoritas kuat di Aceh yakni Partai Aceh (PA). Tidak hanya persaingan tetapi mampu meraih posisi dalam struktur kekuasaan di legislatif. Walaupun perubahan atmosfer geopolitik akan terjadi di Pemilu 2014.

Mengapa? Itu karena PA tidak tunggal sebagai partai politik lokal. Di sinilah tulisan ini ingin menganalisis kedua partai lokal tersebut. Tentunya metode komperatif berbasiskan kekuatan dan kelemahan menjadi alat dalam menganalisis.

 Bersifat inklusif
Proses terbentuknya PNA buah dari hasil kesepakatan lintas tokoh, intelektual, pembisnis, dan politisi. Sehingga sifat inklusif terlihat dalam struktur partai. Tujuan utama ingin menghilangkan label, bahwa PNA bukan dikhususkan hanya kalangan eks kombatan dan elite GAM saja.

Keuntungan dari PNA mendapatkan dukungan dari rakyat Aceh yang memilih Irwandi Yusuf sebesar 30% suara. Disebabkan sosok Irwandi Yusuf (IY) menjadi bagian di dalam struktur partai PNA dan menjadi modal kuat bagi PNA untuk meraih kekuasan di tingkat legislatif. Di sinilah nilai kekuatan yang bisa dihandalkan.

PNA sebagai partai baru dan tidak banyak memiliki jaringan di masyarakat dan akan belum bisa menandingi PA untuk 2014. Kecuali dalam lima tahun setelah 2014 ada strategi jitu dari PNA untuk pemenangan.

Di samping itu memanfaatkan banyak kelemahan dari PA dalam memimpin Aceh di tingkat Eksekutif dan legislative, dimana PA tidak banyak perubahan kearah yang lebih baik, maka PNA akan bisa maju menggantikan kedudukan PA di legislatif termasuk sebagai Gubernur dan Bupati/Walikota di daerah Aceh.

Kalau dikatakan PNA mampu membangun komunikasi dengan elite Jakarta, maka ini menjadi kekuatan selain suara yang diperoleh IY. Dengan catatan komunikasi intensif dan lobi-lobi kuat dilancarkan dari kubu PNA. Di tambah lagi, bilamana PA lupa karena faktor kemenangan di pilkada serta sibuk mengurusi distribusi ekonomi. Otomatis keuntungan ini dimanfaatkan pihak PNA memperkuat posisi tawar partainya.

Keunggulan PNA memiliki dua aras yang menarik yaitu nasional dan Aceh. Bisa diartikulasikan posisi PNA akan membangun komunikasi harmonis dengan nasional sekaligus membangun Aceh dalam kerja-kerja politiknya. Apalagi dukungan politik dari masyarakat di luar Aceh, bilamana betul mendukung PNA akan menjadi kekuatan baru yang membedakan dengan Partai Aceh. Itu pun harus diwujudkan bukan hanya label dari petinggi PNA saja.

Intinya kehadiran PNA belum mampu mengalahkan PA. Argumentasinya berdasarkan kondisi realitas, di mana PA memiliki double gardang dan memiliki gigi enam untuk maju tanpa gigi “R” (retreat) untuk mundur. Maksudnya PA memiliki ormas yang mengakar yakni Komite Peralihan Aceh (KPA) yang mampu berkontribusi menguatkan Partai Aceh.

 Mengakar dan kuat
Sistem politik PA sudah sangat stabil hingga mengakar dan menguat sampai level pedesaaan (gampong). Tidak hanya KPA, pelembagaan sayap organisasi masyarakatnya makin besar mulai dari buruh, intelektual, perempuan, nelayan, dan lain-lain. Sehingga butuh tenaga ekstra kuat bagi PNA bisa menandingi atau bahkan mengalahkan PA.

Patut dicatat PA lebih dipercayai oleh masyarakat dari pada PNA, karena di dalamnya ada tokoh penandatangan MoU Helsinki. Elite PA sering menjadikan MoU dan UUPA sebagai buah perjuangan segelintir elite PA. Seharusnya buah perjuangan lintas komponen masyarakat sipil. Belum lagi kelihaian dan pengalaman PA patut diacungi jempol dalam hal berdiplomasi, terbukti kepentingan PA diakomondir pihak pemerintah pusat.

Ditambah lagi pendekatan dengan berbagai kalangan membuat PA menjadi semakin sangat inklusif. Sebagai hasilnya Sunarko, Djali Yusuf, Mohammad Yahya, Fadel Mohammad, Nasir Djamil, Farhan Hamid, dan Abdullah Puteh. Bahkan beberapa tokoh CMI dapat menjadi pendorong PA dalam pilkada yang lalu. Strategi ini akan dijadikan pada setiap event pemilihan di Aceh. Terlepas dimanfaatkan pada pilkada dan pemilu legislatif yang akan datang.

Begitulah dua partai lokal yang berpartisipasi dalam Pemilu 2014. Keduanya akan bersaing juga dengan partai nasional dan partai lokal lainnya. Menuju ke sana pastilah akan mempersiapkan semaksimal mungkin untuk meraih kemenangan serta keberpihakan kepada masyarakat Aceh. Tentunya tetap mengedepankan politik yang fear, beretika, dan menjunjung tinggi nilai-nilai berdemokrasi di Aceh. Selanjutnya tunjukan kerja-kerja serius mewujudkan keinginan masyarakat Aceh yaitu kesejahteraan dan perubahan di segala aspek Provinsi Aceh.

* Aryos Nivada, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh.

Editor: Safrizal

Indonesia Pinjam USD2 Miliar ke World Bank

world_bank.jpgWASHINGTON - World Bank siap memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebesar USD2 miliar. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi potensi dampak krisis utang global di RI.




Seperti dilansir worldbank.org, Bank Dunia menuturkan, pinjaman tersebut atas permintaan pemerintah Indonesia sebagai kontingensi terhadap kemungkinan volatilitas pasar yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Meski ekonomi Indonesia terus bertumbuh melampaui pertumbuhan Amerika Serikat (AS) atau negara-negara Eropa, namun saat ini tren pertumbuhannya sedikit melambat akibat melemahnya kinerja ekspor menyusul turunnya permintaan negara-negara di dunia,".

Pinjaman tersebut diharapkan dapat menambal potensi melambungnya defisit anggaran. Pasalnya, jika krisis di Uni Eropa makin memburuk, maka dampaknya tidak hanya pada perlambatan ekonomi di China atau AS, namun juga ke dalam negeri. Indonesia disebut tetap akan menerima pinjaman sebesar USD2 miliar dari Bank Dunia ini. Pinjaman ini kabarnya akan digunakan untuk menguatkan nilai tukar rupiah.

Sumber: serambinews.com