Event Pemerintah Aceh 2014

Tantangan Berat Zaini-Muzakir

Oleh Safrizal (Mahasiswa Ilmu Politik Unimal)
Muzakir Manaf - mantan Panglima GAM
Pada 09 April 2012 menjadi moment penting dalam sejarah Aceh yang kedua setelah tahun 2006, rakyat Aceh dengan tegas dan siap menentukan pemimpin masa depan mereka yang akan membawa perubahan untuk rakyat Aceh. Dimana pada 09 Arpil tersebut rakyat Aceh memilih pemimpin sebagai bagian dari demokrasi dalam menentukan siapa yang tepat dan bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan membagun Aceh.



Rakyat Aceh waktu itu tidak hanya memberikan hak suara semata tetapi akan menunggu ketika orang yang dipilihnya menang dan kapan janji-janji masa kampanyenya di implementasikan sesuai dengan keingginan dan harapan bangsa Aceh, rakyat Aceh juga akan melihat, mengontrol, mengkritisi dan memberikan solusi untuk pemerintah Aceh baik dalam sisi pertumbuhan ekonomi, pembangunan, pendidikan, kesehatan, kejahatan KKN, dll.


Ada satu hal yang harus di ingat bahwa memimpi itu tidak mudah, dalam pepatah mengatakan “suatu kaum akan hancur apabila pemimpin tidak memperhatikan kaumnya sendiri”, kalau kita jabarkan bahwa rakyat akan bercerai berai apabila pemimpin tidak memperhatikan rakyatnya.


Alhasil, pada pilkada 09 April 2012 tersebut dimenangi oleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dengan perolehan suara 1.327.695 suara (55,78%), dan sangat jauh meninggalkan pasangan lain seperi Irwandi Yusuf dan Munyan Yunan yang dianggap pasaing tertinggi Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang di usung Partai Aceh dengan perolehan suara 694.515 suara (29,18%).


Pada 17 April 2012 Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017 karna pasangan ini meraih suara terbanyak dan persentasenya juga memenuhi ketentuan undang-undang untuk ditetapkan sebagai pemenang.


Masih ingatkah kita terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Aceh pada masa konflik yang begitu merahnya tanah Aceh akibat berlumuran darah, konflik tersebut menjadi catatan HITAM dalam sejarah peradaban Bangsa Aceh yang tidak manusiawi dan sangat biadap yang pernah terjadi di Bumi Serambi Mekkah.

Pada tahun 1989 pemerintah orde baru  memutuskan Aceh sebagai daerah opersi militer untuk menupas Gerakan Pengacau Keamanan, Jakarta menangkap gelagat bahwa keaman di daerah ini terancam oleh bangkitnya kembali Gerakan Aceh Merdeka (GAM), GAM sejah tahun 1976 yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh, dengan tujuan mengembalikan keamanan dan ketertiban sejak 1989 s/d 1998 TNI mengelar operasi militer yang terkenal dengan nama sandi “operasi jaring merah”.


Selama 10 tahun operasi itu memakan korban ribuan warga sipil tak besenjata, pada masa tersebut militerbertindak tanpa kontrol menangkap siapa saja yang dicurigai sebagai GAM dengan sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan brutal, pemerkosaan atas kaum perempuan Aceh, dan pembunuhan kejam terhadap warga sipil tak bersenjata adalah keyataan sehari-hari yang perih dan menyarterbuka.


Tumbangnya kediktator orde baru pada Mei 1998 membuka kesadaran baru bagi rakyat Aceh, rakyat Aceh menuntut demokrasi ditegakkan dan meminta DOM segera di cabut, suara yang korban tertindas selama operasi militer waktu itu berteriak lantang menuntut keadilan, mereka meminta semua pelaku kejahatan kemanusiaan di Aceh segera di seret kepengadilan.

07 Agustus 1998 Panglima TNI Jendral Wiranto memutuskan Aceh bebas dari status DOM, selama sepuluh tahun Aceh di bawah DOM, sekitar 12.000 pasukan non organik TNI di kerahkan untuk menumpaskan GAM, setelah DOM di cabut pasukan non organik termasuk TNI AD dan KOPASUS ditarik dari Aceh secara bertahap.


Sementara NGO HAM mencatat selama diberlakukan DOM di Aceh, sejak tahun 1989 sampai dicabutnya DOM pada 07 Agustus 1998 telah terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh 7.720 kasus.


23 Juli 1999 Tengkue Bantakiah (seorang ulama tradisional/pimpinan pondok pasantren Babul Mukaramah Beutong Aceh Barat) meninggal dalam sebuah operasi penyerangan yang dilakukan oleh aparat militer, Tgk Bantakiah dituduh menyimpan ganja dan senjata namun dalam  proses pengadilan aparat keamanan tak bisa menunjukan bukti bahwa Tgk Bantakiah menyimpan senjata untuk mendukung GAM, aparat yang menyusup dari Aceh Tengah menembak mati sekitar 8 warga sipil, lalu  ketika menyergab Tgk Bantakiah dan sekitar 31 pengikutnya berlumuran darah.


Itulah pelanggaran HAM berat yang pernah dirasakan Rakyat Aceh ketika konflik, Belum lagi kejadian simpang KKA, Idie Cut dan daerah-daerah lainnya di Aceh. 

Kini saatnya Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang dilatarbelakangi sebagai mantan GAM untuk menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa konflik Aceh melalui qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan mensejahterakan rakyat Aceh yang telah puluhan tahun hidup sengsara di bawah tekanan Pemerintahan Pusat yang sampai saat ini belum terealisasi sebagaimana perjanjian yang tercantum dalam butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan Pemerintah Indonesia tahun 2005 yang lalu. Wallahu’alam....

Foto-Foto Dokumentasi masa konflik Aceh

Tgk Bantakiah
Simpang KKA
Tuntutan Refendum
Tuntutan Referendum