Event Pemerintah Aceh 2014

Mekanisme Pencoblosan dan Syarat Memilih Calon BEM Unimal 2012

KOMISI PEMILIHAN RAYA (KPR)
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2012

 MEKANISME PENCOBLOSAN
CALON KETUA & WAKIL KETUA BEM UNIMAL

Kriteria Suara Sah/Tidak Sah
  1. Suara pada surat suara pemilihan raya calon Ketua dan Calon Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unimal periode 2012, dinyatakan sah bila;
    • Surat suara berstempel KPR BEM-UNIMAL
    • Surat suara berwarna putih hitam
    • Surat suara tidak rusak
    • Tanda coblos hanya terdapat pada satu kolom yang memuat satu pasanga calon, atau
    • Tanda coblos hanya terdapat pada satu kolom yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon ketua dan calon wakil ketua yang telah ditentukan oleh KRP; atau
    • Tanda coblos lebih dari satu, tetapi masih dalam satu kolom yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon; atau
    • Tanda coblos terdapat pada salah satu kolom yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon,
    • Tidak terdapat tulisan atau catatan di dalam surat suara.
  2. Apabila pemberian suara pemilihan Raya Calon Ketua dan Calon Wakil Ketua BEM UNIMAL tidak sesuai dengan criteria di atas, maka suaraya dinyatakan tidak sah.

Syarat memilih:
  1. Pemilih membawa Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) atau Kartu Rencana Studi (KRS) pada pemungutan suara,
  2. Pemilih tidak di bolehkan memilih apabila tidak membawa KTM atau KRS

Waktu Memilih
Hari                 : Rabu
Tanggal          : 14 November 2012
Pukul              : 10.00 wib s/d selesai
Tempat           :
  1. Reuleut (Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian)
  2. Bukit Indah (Fakultas ISIP, Ekonomi dan Fakultas Hukum)
  3. GOR AAC (Fakultas Kedoktoran)
Catatan:
Perhitungan suara dilaksanakan pada pukul 19.30 wib s/d selesai



Editor: Safrizal

[Cerpen] Kenangan

KENANGAN

By Asriatun* 
[Mahasiswi Ilmu Politik Unimal Angkatan 2012]

Rintik-rintik berjatuhan, disertai kilatan. Tampak samar ku lihat bayangan pohon dari balik koseng jendelaku. Angin perlahan menggoyangkan dedaunan. Mengibas-ngibas dinginnya kegelapan malam. Bulan bersembunyi di balik tumpukan awan hitam. Seolah malu menatapku.

“Ah, apa-apaan ini, apa yang di pikirkan langit. Kenapa tiba-tiba hujan, bukanya tadi langit tampak baik-baik saja” Muncul spekulasi dan berbagai opini membucah dan berdesakan dalam sel-sel otak ku.

“Apa mungkin langit merasakan hal yang sama”.  Yah, itu mungkin. Apa langit mewakili perasaanku yang sedang dalam duka. Apa-apaan dunia ini begitu tega melihat aku terlunta-lunta dalam kesedihan. Belum cukup kebahagian ku sendiri yang aku korbankan demi mereka. Belum cukup puas?.

“Itu langit. Ya, langit yang sedang menangis, tepatnya nangis darah”. Membanting pintu kamar . ku rebahkan tubuhku yang kaku ke tilam yang agak lusuh . Memikir dan menimang-nimang jalan pikiranku yang terlalu kaku dan kusut. Seperti kumpulan benang-benang yang tak lagi dapat dipisahkan antara pangkal dan ujungnya. “Apalagi ini?, belum cukup manusia-manusia busuk itu mendapatkan apa yang sebenarnya menjadi milikku?”, pertanyaan itu hadir perlahan, satu persatu bejajar rapi di anganku.berharap mendapatkan jawaban yang pasti. Aku terpaku menatap langit. Menyeringai sediri dalam hati. Mencoba menelisik secara lebih menyeluruh gambaran muka langit yang pucat.

Sementara yang lain berleha-leha dengan girangnya. Menikmati setiap hembusan nafas mereka dengan senyum bahagia, ah, mungkin juga palsu. Jaman sekarang sulit menemukan sesuatu yang masih original. Sedikit sekali bahkan yang mengagung-agungkan kejujuran. Semua tak ada yang tampak bebeda dari mereka. Imitasi semua. Senyum, sabar, tawa, marah. Tak tampak jelas lagi. Aku memilih bersandar di teras rumah, rintik-rintik itu menyentuh lembut permukaan kulitku. Kibiarkan mereka membelai lembut kulit-kulit yang kusam karna terik yang membakar siang tadi. Bau tanah menyeruak menembus penciumanku, “Bau ini, bau yang selalu kurindu”. Kubiarkan bau ini berjalan menembus hidungku dan mengalir bersama aliran darahku. Memenuhi tubuhku yang mualai basah karna hujan.

Ku sadari tubuh ini mulai menggigil, aku bangkit dan berjalan perlahan ke dalam kamar.  Tampak di sudut kamar sebuah cermin kecil. Kupandangi perlahan.

“kau sedang pikir apa?”
“Loh, kok ?” melotot. Otot-otot mata sedikit menegang.
“Jangn terkejut, tenanglah !. ini aku?”
“kamu, aku?”
“Laiya, aku ini kamu”

Aku melihat diriku dalam cermin, dia persis seperti aku rambut, mata , hidung, dan  semunya. Ini benar-benr aneh. Tiba-tiba kilat menyambar perlahan, gambarku pecah dan bayangan ku menghilang perlahan, aku tersadar dalam lamunku. Dan kulihat hujan belum juga reda.

“Hujan?” desis ku perlahan memecah keheningan.

Hujan kini mengingatka ku tentang hari-hari terakhir sekolah, perlahan rasanya waktu berlalu begitu cepat, merangkul-rangkul usia ku yang semkin dewasa. Saat-saat bersama mereka , berbagi canda, tawa, tangis, bahagia, marah kesal semua rasa bercampur menjadi satu memenuhi memori otakku yang akhir-akhir ini terlalu sibuk memikirkan tugas-tugas. Aku bangkit menghapiri hape yang ku letakkan di atas meja, perlahan aku membukanya. Dan yang pertama ingin kulihat adalah wajah-wajah polos teman-temanku. Sedikit geli rasanya ketika aku melihat satu persatu lembaran foto mereka. Gaya-gaya aneh mereka mebuat aku tak bisa menahan tawa, ada-ada saja kekocakan mereka.

Kembali kurebahkan tubuhku perahan, memejamkan mata berharap esok masih bisa kembali terjaga. Memulai rutinitas seperti biasa. Perlahan mata mulai menutup menembus dinding waktu dalam cakrawala mimpi. Keheningan menganga.

***
 Perlahan kubuka mata, sayup-sayup kulihat cahaya menembus celah-celah tirai kamar.“Pagi kembali datang”. Aku bangkit dan berjalan dalam kegelapn subuh menelusuri setiap sudut ruangan. Kulihat jam menunjukan pukul 04.57. Ku kuatkan diriku berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu’. Membasuh perlahan setiap anggota wudhu’ ku. Kusujudkan diriku ke pangkuan Ilahi Rabbi. Menjalani kewjiban ku sebagi insan di bumi . Aku duduk bersipuh di pangkuanNya. Perlahan Air mata menetes membasahi pipiku. “ Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ampunilah dosa hamba, Jangan biarkan hamba tersesat  begitu jauh, permudahlah segela yang sukar, limpahkanla kebahagian kepada orang yang hamba cintai dan yang mencintai hamba ya Allah. Ampunilah Dosa-dosa orang tua hamba ya Allah”. Air mata terus saja mengalir.

Dalam sujud, keheningan menyeruak menembus dinding-dinding waktu. Aku hanyut dalam dekapan lembut Sang Khalik, untuk sesaat. Kubuka kemabli mata perlahan, menerawang jauh ke sudut jendela. Kulihat fajar mulai semakin bersinar. Bergegas kulangkahkan kaki ke kamar mempersiakan segala keperluan untuk sekolah

***

Jantungku berdegup kencang, kudengar seluruh ruang kelas menggema lantunan ayat suci Al-Qur’an.

“Ya Allah, telat hari ini, jangan-jangan ibu Sri sudah datang lebih dahulu. Bagaimana ini ya Allah”. Kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, aliran darahku seolah mengalir begitu cepat. Menerobos begitu saja keluar tanpa kendali dari serambi jantungku. Aku tertuduk lesu. Kukuatkan kaki untuk terus berjalan. Bukan karna Ibu Sri guru yang Kejam, tapi justru keramahan dan kelembutan hatinyalah yang membuat aku menjadi seperti ini,

Aku tersentak , semua mata tertuju padaku sekarang. Mereka menertawaiku. “haha, mati lampu ya ?”. aku ternganga, tak sempat aku menjawab pertanyaan mereka, aku menundukkan kepalaku. “ Masyaallah, kenapa bisa seperti ini, kenapa aku bisa sampai salah memakai seragam sekolah”. “Apa yang terjadi padaku sebenarnya. Ada apa dengan hari ini”. Perlahan aku berjalan menghampiri ibu sri yang sedang duduk di atas kursinya. “ Knapa Nak, kok bisa salah pakai seragam, lagi bnyak pikiran ya makanya gak konsen ?”. “ Jika di izinkan saya ingin pamit pulang untuk menggati seragam”. Aku tertunduk malu, malu hati hari ini kepada teman-temanku. “ Iya, gak papa kok Nak, tapi jangan lupa minta izin piket ya Nak. “Iya Bu, makasi bu”.

***
Aku tertengun, keresapi hari ini dengan sangat apik. Kubiarkan sel-sel otakku mengunyah segala informasi dengan baik, sehingga data-data yang dikirim panca indraku dapat diproses secara sempurna.

           “hai, ngelamunin apa hayoo?.”
“Ah, kau mengagetkanku saja.”
“ Lagian siapa suruh ngelamun.”
“ Yee, siapa juga Yang ngelamun, sok tau.” Perlahan, aku tenangkan pikiranku.
“Asri, ayolah. Aku ini temanmu. Masa kau bersikap begitu padaku
“Maaf , pikiranku sedang kacau?”
“Tenanglah, lupakan hari-hari sulit ini. Lupakan semua ksedihan, tangisan. Itu hanya akan semakin menyulitkan kehidupan kita. Tak ada gunanya menyesali yang telah terjadi. However the past remain the past, will never be the future. But, our action in the past shows how our future.

Kata-kata itu menyadarkan aku, aku tersentak, kulihat dia berlalu pergi menjauh dariku, pesan-pesan itu megugah hati. Kuterwang kembali pikran pikiranku ke masa lalu, masa dimana aku mulai memijakkan kaki di sekolah ini, kenanga-kenangan manis putih abu-abu. Kala aku tersudut, terjebak, teremehkan, bahkan dicibir oleh mereka-mereka yang sedikt lupa diri. Kenangan MOS bersama teman-teman, membersihkan pekarangan sekolah dibwah terik, bahkan menikmati hidangan makan siang denagan bekal yang seadanya. Disitulah titik kenikmatan yang luar biasa mulai kurekam. Dimana kebersamaan itu lebih dari segalanya. Saling berbagi walau hanya dengan sepotong ikan asin. Rasanya di sana kemewahan hanya akan menjadi sesuatu yang sangat membosankan. Terkurung dalam ruang mengah namun pengap, terbatasi gerak-gerik karna rasa was-was akan kejahatan. Terkurung sendiri dengan makanan Fast Food  yang lama-lama juga akan basi dengan sendirinya.

Kengan-kenangan itu membiusku semakin hanyut dalam samudra masa lalu, ketika aku ditempatkan di sebuah ruang kelas yang begitu jauh dari targetku, namun aku tetap mensyukurinya. Di sanalah aku memulai interaki dengan kawan baruku, hari pertama duduk di antara mereka membuat aku nyaman. Begitupun hari-hari berikutnya. Semua seolah berlalu begitu cepat. Jarum jam seolah berlari menembus masa. Tak terasa enam bulan berlalu begitu cepat saat-saat penantianku akhirnya tiba, prosesi pembagian rapor yng begitu aku nanti-nanti. Ibuku yang sejak pagi tadi telah bersiap-siap untuk kesekolahku berangkat dengan hati gelisah.

“ Ya Allah, bahagiakanlah ibu hamba, jangang pernah engkau biarkan raut wjahnya bersedih hari ini”.

Aku menunggunya kembali dengan membawa berita gembira, mondar-mandir langkahku kesana–kemari. Sesekali kubuka perlahn tirai jendelaku, berharap Dia telah kembali. Lama kutunggu ,namun akhirnya Ibu kembali dengan wajah gembira. Kurangkul tubuhnya dan kukecup kedua pipinya.Ibuku terharu, bagaimana tidak bertahun –tahun aku menempuh pendidikan selalu saja aku tersudutkan oleh perlakuan diskriminatif . hanya karena aku terlahir dari keluarga yang tidak mampu, mereka berlaku keji padaku. Sekeras apapun usahaku menjadi yang terbaik, semau hanya akan sia-sia. Kusadri betul memang aku adalah bagian dari ketidak sempurnaan hidup mereka. Karena penilaian manusia hanya mengacu pada kapasitas fisik semata,. Dan mungkin aku bukan termasuk kiriteria yang mereka cari.

Namun ku akui atau tidak, aku merasa belum puas dengan apa yang telah aku capai. Bagaiamana tidak, orang-orang disekitarku memandang aku dengan sebelah mata. Pencapaiaku itu hanya karena kawan-kawan ku memiliki IQ yang berada dibawah rata-rata. Aku jatuh, tersungkur dalam lubang ketidak berdayaan. Aku ingin lebih, semangatku mengebu. Kubulatkan tekat untuk menjadi lebih baik. Bagaimanapun Today should be better than yesterday. And should be better tomorrow  than today. salah satu prinsip hidup yang aku pegang hingga saat ini.  Satu hal yang ku sesali adalah ternyata harapanku pupus sudah, aku tak mampu untuk lebih membahagiakan Ibuku . karna tak lam setelah itu Ibu Menghembuskan nafas terakhirnya.

Hari-hari berlalu bitu saja, tak yang berarti lagi, semua yang telah aku capai dengan susuah apayah hanya akan jadi angin lalu, tak ada lagi senyum bahagia ibu, tak ada lagi senyum kebanggaan dari Ibu. Semua hanya akan tersa hampa. Tak tau lagi semua pencapaian ini untuk siapa.

Pencapaian yang ku raih dengan susah payah akhirnya membuat aku semakin kecewa. Bayangan kata Putu Wijaya Terngiang-ngiang di kepalaku “ Kemenangan melahirkan musuh,  kau akan masuk dalam lingkaran kecemburuan. Disekitarmu bergetar rasa iri. Kau senyum dianggap mengejek, bila tertawa dikira sombong, bahkan bila diam dicap angkuh, tetapi mengatakan kalah disaat menangpun guna menjaga perasaan orang lain pasti dianggap munafik. Wahasil kemenangan adalah kekalahan yang keji”. Begitula aku kini, masa-masa sulit ini ku lalui sendiri. Hatiku kini menjadi semakin beku tak kala orang-orang dismpingku mencibirku dengan halus namun menusuk, menuduhku dengan pikiran-pikiran picik yang begitu ngeri. Aku terlunta-luna mencari pengamanan hati. Kutabahkan hatiku hanya demi beberapa bulan lagi.

Walau dunia terlihat semakin tidak menarik lagi, kukubur dalam-dalam perasaan kecewaku ini, aku tidak ingin membuat orang –orang di sekitarku kecewa. Kubiarkan kata-kata mereka hanya menjadi angin lalu belaka. Menembus masuk begitiu saja dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan tanpa ada Filter.

Bell berbunyi, dan kini aku harus berjalan di kenyataanku lagi.