Event Pemerintah Aceh 2014

Tuol Sleng, Penjara Rezim Pol Pot yang Mengerikan

DARI luar, kompleks bangunan ini tidak terlihat berbeda dengan gedung sekolah biasa. Tapi begitu melangkahkan kaki ke dalam, saya merasa aura kengerian yang luar biasa. Inilah penjara Tuol Sleng, tempat Pol Pot menyekap musuh-musuh politiknya, serta menyiksa ribuan rakyat Kamboja yang tidak berdosa.

Bagi rakyat Kamboja, tanggal 17 April 1975 akan selalu dikenang sebagai lembaran hitam dalam sejarah negeri mereka. Pada hari itu, gerilyawan Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot berhasil menguasai Phnom Penh. Inilah permulaan drama paling mengerikan sepanjang sejarah Kamboja.
Dari luar, kompleks bangunan ini tidak terlihat berbeda dengan gedung sekolah biasa. (Hairun Fahrudin)

Awalnya penduduk Phnom Penh menyambut gerilyawan dengan suka cita, berharap tentara Khmer Merah bisa mengakhiri krisis politik akibat perebutan kekuasaan pada masa rezim sebelumnya. Tapi euforia itu tidak berlangsung lama, mereka segera menyadari bahwa Pol Pot dan pengikutnya telah merencanakan kekejaman yang luar biasa.

Kaum intelektual seperti dokter, dosen dan guru adalah musuh terbesar Pol Pot. Mereka dianggap menghalangi cita-cita Pol Pot untuk menciptakan masyarakat satu kelas, yakni kaum petani yang bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Golongan elit dan terpelajar ini akhirnya dikirim ke berbagai penjara untuk diinterogasi, dan kemudian disiksa dengan sadis.

Penjara dan tempat penyiksaan ini ada di seantero Kamboja, tetapi yang paling besar dan terkenal adalah Tuol Sleng di pusat kota Phnom Penh. Kini penjara Tuol Sleng dijadikan museum, menjadi saksi bisu kekejian yang pernah berlangsung di dalamnya.

Sebelum era Pol Pot, penjara Tuol Sleng adalah gedung milik Chao Ponhea Yat High School, sebuah sekolah menengah di Phnom Penh. Setelah Khmer Merah memenangi perang saudara, gedung sekolah itu segera dirubah menjadi kompleks penjara berkode rahasia S-21 (Security Prison 21).

Museum Tuol Sleng terdiri dari beberapa bangunan bertingkat tiga dalam area yang cukup luas. Seluruh bagiannya masih asli, termasuk kawat-kawat berduri yang mengelilingi gedung. Untuk menghormati korban, dipasang beberapa tanda yang melarang pengunjung tertawa. Tapi siapa yang bisa tertawa setelah melihat kengerian di penjara ini?

Kengerian itu sudah bermula di Gedung A tempat Anda bisa melihat ruang-ruang kelas yang dirubah menjadi tempat penyiksaan. Pada tiap ruangan bisa kita temui ranjang besi, rantai kaki, serta macam-macam benda dari logam yang digunakan untuk memukul korban. Di salah satu ruangan bahkan bisa dilihat foto asli korban yang tergeletak tanpa nyawa di ranjang besi dalam kondisi sangat mengenaskan.
Pada tiap ruangan bisa kita temui ranjang besi, rantai kaki, serta macam-macam benda dari logam yang digunakan …
Di bagian depan gedung B bisa ditemui tiang berbentuk gawang yang sebenarnya berfungsi sebagai alat olahraga gimnastik. Tetapi pengikut Pol Pot menggunakannya sebagai alat penyiksaan dengan cara menggantung korban dalam posisi kepala di bawah, lalu menurunkan ikatan sampai kepala si korban masuk ke dalam tempayan berisi air.
Tiang berbentuk gawang yang sebenarnya berfungsi sebagai alat olahraga gimnastik. (Hairun Fahrudin)
Ruang pamer di bagian dalam gedung B menampilkan koleksi yang menyedihkan, dengan pajangan berupa sisa-sisa pakaian korban serta ribuan foto tahanan yang pernah mendekam di penjara Tuol Sleng. Pengikut Pol Pot rupanya sangat rapi dalam hal dokumentasi. Mereka memotret seluruh wajah tahanan dan memberinya nomor sebagai tanda pengenal. Terlihatlah ekspresi para korban yang menatap nanar, seolah pasrah dengan nasib yang akan menimpa.
Foto-foto tahanan yang pernah mendekam di penjara Tuol Sleng. (Hairun Fahrudin)
Bagian lainnya yang disebut gedung C tak kalah menyeramkan. Ruang-ruang kelas di gedung ini disekat-sekat menjadi sel-sel kecil berukuran sekitar 1x2 meter, dengan dinding dari batu bata yang dibuat asal-asalan. Pada bagian dalam sel yang sangat kecil ini, ada rantai besi yang dicor ke lantai serta kaleng untuk menampung kotoran.
Ruang-ruang kelas di gedung ini disekat-sekat menjadi sel-sel kecil berukuran sekitar 1x2 meter. (Hairun Fahru …
Kalau diperhatikan dengan seksama, di dalam beberapa ruang sel bisa dilihat noda-noda darah yang sudah mengering. Saya langsung bergidik melihat pemandangan itu, membayangkan betapa menderitanya mereka yang disekap berbulan-bulan dalam sel yang sangat kecil itu.

Pada gedung D yang menjadi bagian terakhir museum, dipamerkan beberapa lukisan dan foto yang menggambarkan berbagai metode penyiksaan tahanan. Sebuah foto asli memperlihatkan mata bor sedang diarahkan ke kepala seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Metode penyiksaan lainnya juga tak kalah sadis, sulit membayangkannya bahwa itu benar-benar terjadi.

Dengan melihat foto-foto serta lukisan yang dipajang di museum ini, bisa diketahui bahwa tahanan juga terdiri dari orang tua, remaja, anak-anak, sampai bayi. Entah apa yang ada di kepala Pol Pot sehingga mengganggap bayi pun sebagai musuh politiknya.

Museum Tuol Sleng memang membuat ngeri, bahkan tak sedikit pengunjung yang terlihat menitikkan air mata. Tetapi inilah bukti sejarah yang harus diketahui sampai generasi seterusnya.

Saya salut dengan warga Kamboja karena mereka bisa jujur dengan sejarahnya sendiri. Banyak kekejian serupa juga terjadi di tempat lain, termasuk di Indonesia, tetapi masih ditutup-tutupi penguasa. 
Kunjungi juga blog Hairun Fahrudin di easybackpacking.blogspot.com.

Mengenang Tragedi Pembantaian Massal di Kamboja

MEMORI kelam tersimpan dalam bangunan stupa yang menyimpan ribuan tengkorak dan tulang-belulang manusia. Sisa-sisa jasad lainnya masih terserak dalam kuburan massal di sekitarnya yang terkadang muncul ke permukaan tanah setelah hujan reda. Inilah monumen yang akan mengusik nurani kita, tapi perlu persiapan mental sebelum melihatnya.
Stupa beratap keemasan yang dibangun untuk mengenang korban. (Hairun Fahrudin)
 
Hanya 15 kilometer di luar kota Phnom Penh, ibu kota Kamboja, ada sebuah tempat yang diberi nama The Killing Fields of Choeung Ek. Situs ini adalah ladang pembantaian massal pada masa Pol Pot, tempat lebih dari 17 ribu orang dihabisi nyawanya secara brutal. Sebagian besar korban dibawa dari Tuol Sleng, penjara dan tempat penyiksaan terbesar di Phnom Penh.

Dalam kurun 1975-1979 saat Pol Pot berkuasa, hampir dua juta rakyat Kamboja tewas karena wabah kelaparan atau dieksekusi di ladang-ladang pembantaian. Periode suram itu masih menyisakan kepedihan di hati rakyat Kamboja. Itulah sebabnya, warga asli Kamboja biasanya enggan mengunjungi bekas ladang pembantaian seperti Choeung Ek.

Meski menyajikan sadisme, The Killing Field of Choeung Ek cukup kondang bagi pelancong. Mereka rupanya tak hanya ingin bersenang-senang, tetapi juga ingin tahu masa lalu kelam di negara yang dikunjungi.

Begitu melewati gerbang masuk area pembantaian massal, pengunjung akan menemui sebuah stupa beratap keemasan yang dibangun untuk mengenang korban. Di dalam stupa ini ada kotak kaca bertingkat 17 yang memuat pakaian dan sisa-sisa jasad dari 8.985 korban. Bagian paling bawah kotak kaca ini menyimpan pakaian korban, lalu tingkat kedua sampai kesembilan ditempatkan tulang tengkorak, dan tingkat di atasnya memuat sisa-sisa jasad lainnya seperti tulang rusuk, tulang pinggul dan tulang rahang.
Tingkat kedua sampai kesembilan ditempatkan tulang tengkorak. (Hairun Fahrudin)
 
Saat memasuki stupa ini, pengunjung diharapkan tidak bersuara keras atau memotret secara berlebihan. Di bagian depan stupa disediakan pula altar untuk berdoa bagi keluarga korban. Beberapa pengunjung juga terlihat menyelipkan kertas-kertas berisi doa di kotak kaca.

Di belakang bangunan stupa, terlihat beberapa lubang galian bekas kuburan massal. Setelah hujan reda, tak jarang pengunjung bisa melihat serpihan tulang dan gigi muncul di permukaan bekas lubang galian ini. Sisa-sisa jasad ini kemudian dikumpulkan petugas di sebuah kotak kaca kecil yang diletakkan di depan kuburan massal.
Lubang galian bekas kuburan massal. (Hairun Fahrudin)
 
Keterangan yang dipasang di tiap-tiap kuburan massal juga cukup membuat bergidik. Ada yang diberi tanda sebagai kuburan massal 166 korban tanpa kepala, atau kuburan massal 100 korban anak-anak dan perempuan yang dikuburkan dalam keadaan telanjang.
Sisa-sisa jasad dikumpulkan petugas di sebuah kotak kaca kecil. (Hairun Fahrudin)
 
Tentara Pol Pot mengeksekusi korban dengan banyak cara. Mereka tidak menembak para korban dengan senjata api karena harga peluru terlalu mahal. Sebagai gantinya, digunakan pisau, pedang, bambu tajam, bahkan juga alat-alat pertanian seperti sabit dan linggis.

Untuk korban anak-anak, cara eksekusinya lebih mengerikan. Tentara Pol Pot menghabisi nyawa bocah-bocah tak berdosa itu dengan membenturkan kepala korban ke batang pohon besar sampai remuk. Di dekat pohon tersebut juga bisa dilihat lubang galian kuburan massal anak-anak.

Sebuah pohon besar lainnya dipasangi tanda “Magic Tree” yang menurut saksi mata pernah digunakan untuk menggantung pengeras suara supaya korban tidak mengerang saat dieksekusi.
"Magic Tree". (Hairun Fahrudin)
 
Menurut saksi mata lagi, sekitar 300 orang dieksekusi setiap hari di Choeung Ek. Mereka dibawa menggunakan truk dari penjara Tuol Sleng, dan tiba di Choeng Ek sekitar pukul 8-9 malam. Karena jumlah yang banyak itu, sering kali tentara Pol Pot kewalahan untuk menghabisi nyawa semua korban dalam satu malam.

Mereka kemudian mendirikan barak kayu sebagai penampungan sementara. Namun barak kayu itu sudah tidak bisa dilihat lagi karena dirubuhkan warga beberapa hari setelah kejatuhan Pol Pot.

Sebelum melangkah ke pintu keluar, sebaiknya pengunjung mampir dulu ke museum kecil yang menyajikan banyak informasi mengenai tragedi kemanusiaan di Kamboja. Di museum ini ditunjukkan struktur organisasi Khmer Merah, kisah hidup para petingginya, serta barang-barang yang ditemukan di dalam kuburan massal seperti anting-anting, sandal dan pakaian bayi.

Sumber: id.berita.yahoo.com
Kunjungi juga blog Hairun Fahrudin di easybackpacking.blogspot.com.