Event Pemerintah Aceh 2014

Mahasiswa Baru di Tengah Kepungan Apatisme

Bisma Yadhi PutraOleh Bisma Yadhi Putra
SALAH satu “penyakit” yang melekat pada kebanyakan mahasiswa baru adalah sikap apatis mereka terhadap pentingnya berorganisasi. Di samping itu, sikap acuh tak acuh mahasiswa baru terhadap berbagai isu yang berkembang, baik yang muncul di dalam kampus maupun lingkungan sosial yang lebih luas, merupakan sebuah krisis yang jika tidak dibasmi bakal menjadi budaya yang akan semakin menguat dari tahun ke tahun. Ini permasalahan yang mutlak harus dicari pemecahannya.

Memang belum ada data pasti mengenai seberapa besar angka atau persentase jumlah mahasiswa Indonesia yang menganggap organisasi sebagai hal yang tidak penting. Tetapi ini adalah fenomena nyata yang dapat diamati langsung di banyak perguruan tinggi. Data atau angka mahasiswa Indonesia yang apatis tidaklah sepenting upaya-upaya pemberantasan virus apatisme. Hal yang harus menjadi perhatian adalah mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Namun bukan berarti inisiatif untuk mengadakan survei terhadap jumlah mahasiswa yang punya sikap apatis terhadap organisasi di tiap-tiap kampus tidak penting. Untuk semakin menguatkan argumen, data pasti tentu dibutuhkan.

Pada beberapa mahasiswa baru, virus apatisme yang mengidap mereka bisa diamati dari tampak jelasnya sikap masa bodoh terhadap kegiatan-kegiatan positif, seperti ikut aktif dalam forum diskusi, mengurus komunitas belajar, atau ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Kegiatan para mahasiswa yang apatis terhadap aktivitas-aktivitas positif seperti ini pada hari-hari kuliah biasanya hanya “ku-pu-ku-pu” (kuliah-pulang-kuliah-pulang). Tidak ada inisiatif untuk aktif dalam kegiatan pengembangan diri melalui keterlibatan dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.

Ironisnya, sikap apatis mahasiswa baru sulit diberantas di tengah kepungan apatisme yang juga menjangkiti sebagian mahasiswa awal (senior). Virus apatisme akan semakin subur manakala dia memang sudah menjangkiti banyak mahasiswa sejak awal. Agar virus ini tidak menjangkiti mahasiswa dari tahun ke tahun, harus dicari obat mujarab untuk membasminya. Karena jika virus ini dibiarkan hidup semakin lama, niscaya akan semakin susah pula memberantasnya.

Dalam upaya memerangi sikap apatisme pada mahasiswa, peran senior mutlak perlu. Para senior dapat pula bekerjasama dengan mahasiswa baru yang memang tidak dijangkiti virus apatisme. Beberapa mahasiswa baru memang punya inisiatif untuk melibatkan diri di dalam organisasi tertentu. Pemahaman akan pentingnya berorganisasi harus ditanam pada setiap mahasiswa. Selain itu, harus pula dipaparkan manfaat yang bisa didapat dengan ikut aktif dalam aneka kegiatan organisasi.

Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi yang bergerak di bidang menulis, misalnya, bisa memeroleh banyak pengetahuan tentang cara menulis, baik itu misalnya opini bertema politik, puisi, cerpen atau novel. Kemampuan menulis yang dimiliki, akan memberi banyak manfaat bagi mahasiswa, baik saat masih di bangku kuliah maupun setelah lulus. Keterampilan menulis adalah salah satu modal berharga.

Dengan keterampilan menulis, seorang mahasiswa bisa mengikuti lomba menulis. Kalau berhasil menjadi juara, tentu itu prestasi yang membanggakan. Atau dalam hal lain, tulisan-tulisan tersebut bisa diterbitkan di berbagai media massa. Punya kemampuan menulis juga dapat mempermudah mahasiswa dalam menulis jurnal dan skripsi. Dan yang lebih penting lagi, ilmu menulis bisa sangat berguna setelah lulus kuliah.

Bekal kemampuan menulis yang baik menjadi nilai tawar yang tinggi ketika seorang mahasiswa punya cita-cita berkarir sebagai wartawan atau penulis buku. Dalam “memburu” beasiswa S-2 atau melamar kerja, publikasi tulisan di media massa, baik cetak ataupun elektronik, juga akan menjadi nilai tawar tersendiri. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari aktif terlibat dalam organisasi.

Kendati demikian, masih beredar sebuah asumsi keliru yang menyebabkan banyak mahasiswa enggan berkecimpung dalam dunia organisasi. Menurut beberapa mahasiswa, durasi kuliah idealnya adalah empat tahun. Mahasiswa yang lulus di atas empat tahun masa kuliah, disimpulkan sebagai mahasiswa yang telat lulus. Menurut beberapa mahasiswa yang menganut durasi ideal seperti ini, salah satu penyebab lamanya seorang mahasiswa telat lulus adalah karena aktif  berorganisasi sehingga fokus utamanya bukan pada upaya menyelesaikan kuliah semata. Inti dari asumsi keliru ini, mahasiswa yang aktif berorganisasi tidak akan bisa lulus kuliah dalam waktu yang cepat.

Asumsi ini mudah sekali terbantahkan. Beberapa mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi justru dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang cepat, sesuai targetnya. Justru beberapa mahasiswa yang apatis terhadap organisasi menghadapi sejumlah kendala dalam perkuliahan, misalnya kemampuan berinteraksinya yang kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang aktif berorganisasi. Mahasiswa yang apatis terhadap organisasi juga tidak terbiasa membuat analisis sendiri yang tajam atas isu-isu tertentu yang tengah dikulitinya.

Lagi pula, mahasiswa yang aktif berorganisasi tetapi tidak bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu yang cepat, sudah punya kecakapan yang memadai untuk siap terjun dalam lingkungan sosial sebagai bentuk pengabdian mahasiswa. Artinya, walaupun tidak lulus cepat, setidaknya mahasiswa yang aktif dan serius berorganisasi punya kesiapan yang lebih baik dari mereka yang kegiatannya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang.

Pemahaman ini wajib diberikan kepada senior. Tetapi peran tersebut hendaknya tidak dalam hal menggiring mahasiswa baru agar bergabung dalam organisasi tertentu. Upaya penggiringan mahasiswa baru oleh senior ke dalam organisasi tertentu kerap mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang sebenarnya. Setiap mahasiswa, punya latar belakang, minat dan bakat yang berbeda. Dalam hal ini, senior harus berperan untuk memfasilitasi masing-masing mahasiswa yang punya perbedaan untuk bergabung dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.

Senior harus bisa mengidentifikasi “selera” setiap mahasiswa yang berbeda-beda. Jika ada mahasiswa yang punya bakat di bidang sepak bola, harusnya dia direkomendasikan untuk bergabung ke dalam organisasi yang fokus di bidang olahraga. Ini bukan menggiring, tetapi memberi gambaran dengan sedikit pengerahan. Ketika ada mahasiswa baru bergabung dengan organisasi yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tentu dia tidak akan bisa menyalurkan potensinya yang tidak sesuai dengan arah gerak organisasi tersebut.

Ketika potensi itu tidak bisa disalurkan, hal ini tidak hanya akan merugikan mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga organisasi tersebut. Organisasi yang diisi oleh orang yang salah itu tidak akan bisa bergerak optimal.  Misalnya, ada mahasiswa yang punya bakat di bidang seni, lebih khususnya misalnya bernyanyi, tetapi oleh senior yang punya kepentingan tertentu, mahasiswa tersebut lalu digiring oleh organisasi si senior yang justru bergerak di bidang otomotif. Setiap mahasiswa harus punya fokus.

Mahasiswa butuh ruang gerak yang selaras dengan gerakan yang ingin dilakukannya. Ketika ruang gerak yang dimasuki seorang mahasiswa ternyata kontradiktif dengan gerak pengembangan bakat yang ingin dilakukan, maka upaya optimal guna meraih tujuan berupa tersalurnya potensi yang dimiliki menjadi sulit – bahkan bisa saja nihil – akibat adanya ketersendatan saluran. Jadi, bentuk gerak – yang sesuai dengan keinginan – hanya akan bisa diwujudkan dalam ruang gerak yang punya kesesuaian serta mendukung gerak yang dilakukan tersebut. Put the right man in the right place.

Karena beragamnya minat dan bakat setiap mahasiswa, terkadang ada mahasiswa yang tidak punya wadah untuk menyalurkan minat dan bakatnya akibat ketiadaan organisasi yang sesuai dengan “selera” si mahasiswa. Ketiadaan organisasi mahasiswa yang mewadahi para inovator di bidang kuliner, misalnya, akan membuat mahasiswa-mahasiswa yang punya bakat di bidang tersebut menjadi “terlantar”.

Bakat ini tidak bisa tersalurkan dengan baik karena tidak ada organisasi yang bergerak di bidang tersebut. Untuk menghindari munculnya sikap apatis dari mahasiswa yang punya bakat tetapi tidak ada organisasi yang mewadahinya guna mengoptimalkan pengembangan bakatnya, di sinilah peran senior harus lebih aktif. Para senior, harus punya inisiatif dalam memfasilitasi mahasiswa yang “terlantar” tersebut untuk mendirikan ruang gerak baru. Dengan peran aktif ini, virus apatisme bisa diperangi.

Karena bentuk gerak semakin banyak, maka ruang gerak harus pula mengikuti setiap pertumbuhan bentuk gerak. Ruang gerak diciptakan untuk menyerap bentuk-bentuk gerak yang tidak terwadahi. Jika semua mahasiswa punya bakat yang saling berbeda, maka semua mahasiswa harus punya wadah organisasi untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Jika upaya ini semakin digeliatkan bersamaan dengan pertumbuhan rasa penting berorganisasi pada banyak mahasiswa, bukan tidak mungkin virus apatisme bisa masuk kubur.

*Bisma Yadhi Putra adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Tulisan ini di muat di media online http://kampus.okezone.com

Gerakan Mahasiswa Masih Rakyat Nantikan

Oleh Bukhari
Arie AacehMengenang tragedi pada pada tahun 1998 dimana peran mahasiswa dalam menumbangkan rezim orde baru dikenang sebagai bukti kemenangan idealisme gerakan mahasiswa terhadap tirani Soeharto pada saat itu. Tapi setelah pasca reformasi aksi dan gerakan mahasiwa terasa melempem karena mahasiswa terkotak-kotak sehingga gerakan mereka menjadi sebuah gerakan yang sporadis.

Meskipun demikian, gerakan mahasiswa tetap memiliki potensial melawan penguasa seperti gerakan didalam menolak kenaikkan harga BBM. Kepercayaan mahasiswa pada gerakan publik tetap masih tinggi karena dianggap murni dalam mengajukan tuntutan perubahan pada pemerintah. Mahasiswa adalah alat kontrol pemerintah atas pemerintahan.

Saya teringat kata seorang dosen di kampus ”mahasiswa takut terhadap dosen, dosen takut terhadap dekan, dekan takut terhadap rektor, rektor takut terhadap mentri, mentri takut terhadap presiden, presiden takut tehadap mahasiswa. Alhasil mahasiswalah yang berkuasa dengan ketentuan mahasiswa itu harus inklusif (terbuka) terhadap masyarakat, dekat dengan rakyat.

 Mahasiswa harus melakukan gerakan-gerakan dalam membantu rakyat, seperti gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh dalam menuntut keadilan masa lalu atas pelanggaran HAM. Korban bersama mahasiswa menuntut dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mengigat kekerasan masa lalu belum diselesaikan oleh Negara. Mekanisme penyelesaian ini salah satunya adalah KKR, seharusnya satu tahun sesudah Undang-undang Nomor 11 tentang  Pemerintah Aceh (UUPA) disahkah maka KKR harus dibentuk ini amanah UUPA.

Apakah DPRA (Dewan Perwakilan Rakayat Aceh) yang bersalah ataukah mahasiswa Aceh yang berhasalah? KKR itu isu yang menyangkut seluruh rakyat Aceh kenapa belum disahkan? Pertanyaan itu sering kita dengarkan dari masyarakat pelosok yang ada di Aceh. khususnya dari pihak korban pelanggaran HAM Aceh yang menanti keadilan, umpanya mereka seperti menjaring ikan ditegah laut dengan tangan bukan dengan jaring.

Disamping KKR ada juga isu yang menyangkut seluruh masyarakat Aceh misalnya SDA (Sumber Daya Alam) dan kewenagan apakah kita peka terhadap kondisi Aceh sekarang ini, gerakan mahasiswa sekarang harus membangkitkan semangat seperti mahasiwa tahun 1998 buktikan merahmu bahwa kamu masih bersama rakyat ”pasti kamu bisa”. Saya berpikir ada sebuah penyakit dalam diri kita termasuk mahasiswa, penyakit itu harus kita hilangkan, penyakit perilaku mahasiswa yang tertutup dan kurang merespon terhadap keluhan rakyat.

Harapan Kedepan

Masyarakat Aceh masih mempunyai mimpi-mimpi yang belum terealisasikan, mimpi itu diserahkan kepada mahasiswa Aceh untuk perjuangkan dan untuk disampaikan kepada pemerintahan sebagai pengambil kebijakan. Buktikan pengabdiaan kita terhadap rakyat wahai kawanku mahasiswa.

Kekerasan demi kekerasan masyarakat korban pelanggaran HAM Aceh telah melaluinya meskipun ada sebagian masyarakat korban sampai detik ini masih trauma waktu. mengingat kejadian masa lampau, lalu bagaimana tugas Negara untuk menghilangkan trauma ini.

persoalan pendokumentasian kasus masa lalu, KKR juga memberikan Hak-hak korban seperti reparasi, kompensasi dan restitusi, maka penting untuk segera mungkin membentuk qanum KKR Aceh sebagai langkah nyata dalam penyelesaian kasus masa lalu.

Ketika Negara membiarkan pelanggaran HAM Aceh tidak diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, maka Negara kembali melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran. Kondisi ini bisa dilihat sebab pemerintah tidak melakukan langkah yang kongkrit untuk penyelesaian kasus masa lalu.
 
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh.
Email : Arie_aaceh@yahoo.com

Tulisan ini di kirim untuk mengikuti Sekolah HAM angkatan Ke-V

Gerindra & Nasdem Diprediksi Akan Gerogoti Suara Golkar & PD

Tampilnya Partai Gerindra dan Partai Nasdem sebagai pemain baru partai papan tengah tidak lepas dari faktor basis massa partai. Gerindra dan Nasdem diprediksi akan menggerogoti lumbung suara Partai Demokrat dan Golkar.

"Nasdem misalnya bisa menggerogoti suara Demokrat di pulau Sumatera, sementara Gerindra berpotensi mencuri suara Golkar di Jawa, Sulawesi, Papua, dan Maluku," ujar Kepala Divisi Survei Charta Politika Arya Fernandes saat berbincang dengan detikcom, Jumat (31/8/2012).

Selain itu, lanjut Arya, Gerindra dan Nasdem juga bisa mencuri basis pemilih Golkar dari latar belakang pekerjaan. Nasdem berpotensi mencuri suara pemilih Golkar yang berasal dari kelompok petani atau nelayan. Sementara, Gerindra mampu mencuri suara pemilih Golkar yang berasal dari kelompok pengusaha dan pegawai swasta.

"Saya melihat ada kemiripan antara karakter pemilih Golkar-Demokrat dengan Gerindra-Nasdem. Bila performa Gerindra dan Nasdem bisa terus dipertahankan, kedua partai ini dapat menjadi kekuatan baru pada 2014 mendatang," ungkapnya.

Kenaikan suara Gerindra dan Nasdem juga dapat dijelaskan melalui platform dan isu-isu utama kedua partai. Survei Charta Politika menunjukkan isu ekonomi menjadi persoalan utama yang menjadi konsen dan perhatian masyarakat.

Sekitar 49,4 persen masyarakat menilai harga-harga kebutuhan pokok mahal. Selain itu evaluasi masyarakat terhadap kinerja pemerintah juga tidak mengembirakan, 50,6 persen tidak puas dengan kinerja pemerintah. Hanya 39,5 persen yang mengaku puas, sisanya 9,8 persen tidak tahu dan tidak jawab.

"Saya kira Gerindra dan Nasdem sadar isu ekonomi dan kinerja pemerintah menjadi isu bersama di masyarakat. Kalau kita lihat, Gerindra misalnya konsisten menyuarakan isu-isu ekonomi dalam iklan dan kebijakan partai, sementara Nasdem pada isu-isu perubahan dan restorasi. Dan saya melihat masyarakat mulai melirik kedua isu partai tersebut," paparnya.

Menurut Arya fenomena Gerindra dan Nasdem juga dapat dijelaskan melalui kekuatan figur dan manajemen kampanye. Survei Charta menunjukkan, faktor figur dan kualitas personal calon anggota legislatif masih mempengaruhi pilihan publik. Sekitar 59,6% responden memilih calon legislatif karena figur dibandingkan partai penggusung.

"Gerindra saya kira cukup diuntungkan secara elektoral dengan kuatnya figur Prabowo Subianto. Sementara, Nasdem berhasil mencuri perhatian publik ide restorasi dan kekuatan iklan politik," tutupnya.

Survei Charta Politika cukup mengejutkan untul level partai kelas menengah. Bila 3 besar didominasi Golkar, Partai Demokrat (PD), dan PDIP, maka level menengah terjadi persaingan ketat. Bila pemilu digelar saat ini, untuk Gerindra dan NasDem unggul mengalahkan PKS dan PAN.

Dalam survei ini masih terdapat swing voter di mana ada 34,4% responden yang belum menentukan pilihan. Berikut hasil lengkap survei Charta Politika:

Golkar: 18 persen
PD: 12,5 persen
PDIP: 10,8 persen
Gerindra: 4,7 persen
NasDem: 4,3 persen
PKS: 3,9 persen
PPP: 2,7 persen
PKB: 2,6 persen
PAN: 1,9 persen
Hanura: 1,6 persen
lainnya 2,7 persen
Tidak tahu dan tidak jawab: 34,4 persen

Editor: Safrizal
Sumber: detik.com

[Situasi Politik Internasional] Sekjen PBB Kecam Iran

Ban Ki-moonSituasi politik internasional sampai saat ini masih belum menemukan titik yang jelas terutama masalah Israel dengan Palestina, Suriah serta program nuklir Iran, namun semua itu tetap Iran yang menjadi sasaran dunia internasional. Hal tersebut terlihat ketika Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mengeluarkan kecaman terhadap Iran ketika menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok di Teheran.

Ketika menyinggung pernyataan sikap Iran bahwa Israel tidak berhak mendirikan negara, Ban mengatakan pihaknya mengecam ancaman satu negara anggota PBB ke negara anggota lainnya.


Sebelumnya pada 15 Agustus 2012 lalu lebih dari 400 warga Israel menandatangani petisi online berisi permintaan kepada pilot-pilot Angkatan Udara Israel untuk membangkang jika diperintah mengebom Iran.

Petisi tersebut meminta para pilot menggunakan akal sehat dalam menghadapi apa yang mereka sebut rencana untung-untungan yang keliru.

Dokumen ini menyebutkan, "Saat ini nasib kami ada di tangan Anda."

Petisi ini dikeluarkan ketika spekulasi serangan Israel terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran makin kencang.

Para pejabat Israel mengatakan mereka siap berperang selama sebulan dengan Iran.

"Menurut perhitungan kami, perang melawan Iran akan berjalan selama 30 hari," kata Matan Vilnai, Menteri Pertahanan Israel dalam wawancara dengan surat kabar Maariv, hari Rabu (15/08).

Vilnai mengatakan pertempuran akan terjadi di beberapa tempat dan menambahkan serangan rudal Iran mungkin akan menewaskan sekitar 500 warga Israel.

"Dari pembicaraan kami dengan para pakar, angka korban di pihak kami kurang lebih 500 orang," katanya.

Namun Vilnai menyatakan serangan terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran akan dikoordinasikan dengan pemerintah di Washington.

Israel meyakini bahwa program nuklir Iran pada akhirnya ditujukan untuk mengembangkan senjata nuklir, sementara pemerintah di Teheran menegaskan bahwa program ini semata-mata untuk kepentingan damai.


Editor: Safrizal

Presiden Iran: Kamboja Memiliki Potensi Tinggi Untuk Meningkatkan Hubungan

President: Iran, Cambodia have high potentials for enhancing ties
Presiden Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa Iran dan Kamboja memiliki potensi tinggi untuk peningkatan transaksi perdagangan dan investasi bersama.

Presiden Ahmadinejad membuat komentar di atas dalam sebuah pertemuan dengan Menteri Kamboja Hun Sen mengunjungi Perdana di sela-sela Gerakan Non-Blok ke-16 (NAM) KTT di Tehran pada hari Kamis sebagaimana dikabarkarkan irna.ir [30/08/201].

Ahmadinejad mengatakan bahwa Iran dan Kamboja harus memanfaatkan potensi tersebut untuk perluasan lebih lanjut hubungan bilateral mereka.

"Iran dan Kamboja harus bekerja untuk kemajuan hubungan bilateral dalam semua bidang lebih dari sebelumnya dan kedutaan kedua negara harus menjadi lebih aktif dari sebelumnya," kata Presiden sambil mengacu pada fakta bahwa Iran dan Kamboja selalu memiliki hubungan persahabatan.

Mengacu pada potensi yang ada di bidang investasi teknis dan ekonomi, Presiden Ahmadinejad menyatakan harapan bahwa sebuah komisi teknis, ekonomi dan perdagangan bersama akan dibentuk antara Iran dan Kamboja sesegera mungkin untuk membuka jalan untuk mengambil keputusan yang cocok untuk peningkatan ikatan.

"Republik Islam Iran menghadapi tidak ada pembatasan dalam meningkatkan kerjasama dengan Kamboja dan kedua ountries harus bekerja untuk kerjasama lebih lanjut," tambah presiden.

Mengacu pada penyelenggaraan KTT Gerakan Non-Blok di Teheran, Presiden Ahmadinejad mengatakan bahwa partisipasi dari semua negara-negara anggota merupakan parameter yang efektif untuk keberhasilan KTT GNB.

"Semua anggota-negara harus membantu agar dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan mengambil langkah-langkah yang lebih efektif," tambahnya.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen untuk bagian itu mengatakan bahwa ia senang berada di sini (Teheran) dan menghadiri KTT GNB ke-16.

Perdana Menteri Hun menyerukan perluasan kerja sama perdagangan dan ekonomi dengan Republik Islam Iran.

Editor: Safrizal
Sumber: irna.ir

Daerah Merespon Wajib Belajar 12 Tahun

Fennie Y Siswa kelas I SDN 17 Tuatunu, Pangkalpinang, berjalan kaki pulang dari sekolah [Bangka Pos]
Rencana pemerintah menggulirkan wajib belajar 12 tahun yang dirintis lewat program pendidikan menengah universal pada 2013 disambut beragam oleh daerah. Sejumlah daerah ada yang mulai menggulirkan program serupa, sebagian lainnya belum mendapat sinyal adanya tambahan dana pendamping untuk pendidikan menengah dari pemerintah kota/kabupaten.

Di DKI Jakarta, pendidikan menengah di jenjang SMA/SMK negeri mulai digratiskan pada tahun ajaran 2012/2013. Sekolah-sekolah milik pemerintah, termasuk sekolah rintisan bertaraf internasional (RSBI) ada yang tidak memungut iuran bulanan dari siswa.

"Program Pemerintah Provinsi DKI yang menggratiskan pendidikan di SMK/SMA membuat masyarakat tidak ragu mendaftar. Di sekolah kami, pendaftaran tahun ini cukup satu gelombang saja, padahal biasanya dua gelombang," kata Kepala SMKN 18 Jakarta, Idawati, Kamis (30/8/2012).

Menurut Idawati, untuk program pendidikan menengah gratis ini, Pemprov DKI Jakarta memberi bantuan operasional senilai Rp 400.000 per siswa per bulan. Adapun dana rintisan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat besarnya Rp 10.000 per siswa per bulan.

"Sebagai sekolah reguler, bantuan dari Pemprov DKI cukup membantu. Sekolah kami bisa menggratiskan biaya iuran sekolah Rp 110.000 per bulan dan sumbangan pendikan awal tahun senilai Rp 1,5 juta. Bagi sekolah kami yang sekitar 85 persen siswanya dikategorikan tidak mampu, kebijakan Pemprov DKI melegakan," tutur Idawati.

Kepala SMAN 12 Bandung Hartono mengatakan, sampai saat ini belum ada dukungan dari Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, untuk menambah biaya operasioanal di SMA. Bantuan operasional baru datang dari pemerintah pusat senilai Rp 10.000 per siswa.

Menurut Hartono, jika pemerintah pusat pada tahun depan mengalokasikan BOS pendidikan menengah senilai Rp 1 juta, dana tersebut dinilai belum cukup untuk membantu sekolah menggratiskan biaya pendidikan. "Kalau untuk membuat biaya tidak naik atau sedikit berkurang, sekolah masih bisa melaksanakan," kata Hartono.

Sutarman, Kepala SMKN 2 Metro Lampung, mengatakan alokasi BOS pendidikan menengah senilai Rp 1 juta/siswa/tahun belum bisa membuat sekolah menggambil langkah untuk menggratiskan biaya sekolah. Iuran bulanan di sekolah ini sebesar Rp 120.000 dan sumbangan siswa baru Rp 1,5 juta.

"Sekolah ingin terus meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Jika mengandalkan dana pemerintah, kemajuan jadi lamban. Karena itu, sekolah tetap berupaya bekerjasama dengan ornag tua supaya mau mendukung dalam pembiayan sekolah. Bisa saja, nanti jumlahnya diutunkan dari yang sudah-sudah," kata Sutarman.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan alokasi BOS pendidikan menengah memang masih menanggung sekitar 70 persen biaya operasional setiap siswa. Untuk itu, program ini harus juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

"Pemerintah daerah yang memang sudah memiliki program wajib belajar 12 tahun di daerahnya, harus tetap mempertahankan programnya. Tambahan dana dari pemerintah pusat justru membuat pendidikan menengah di sana semakin terjangkau. Sebaliknya, pemerintah daerah yang belum, mesti juga bisa memberi tambahan," kata Nuh. 

Sumber: kompas.com

Beasiswa MBA di Swiss!

Beasiswa Jim-Ellert kembali membuka kesempatan untuk meraih gelar Master of Business Administration (MBA) di IMD Business School di Swiss bagi pelamar dari Afrika, Eropa (termasuk Rusia), dan negara-negara di ASEAN seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia dan tentu saja Indonesia. Beasiswa ini menawarkan beasiswa sebesar 20.000 Franc Swiss (CHF).

Kandidat harus sudah diterima di program kuliah IMB MBA dan menunjukkan kebutuhan yang kuat akan beasiswa ini. Kandidat perempuan akan lebih diperhitungkan. Untuk mendaftar, kandidat harus membuat esai dalam 500 kata mengenai 'Mengapa saya mau belajar meraih gelar MBA di IMD' dalam bahasa Inggris.

Aplikasi pendaftaran dan format esai bisa diunduh dari laman resmi beasiswa. Esai ini menjadi salah satu pertimbangan utama untuk diterima dalam beasiswa ini, selain berkas lamaran.

Pendaftaran dibuka hingga 30 September 2012. Adapun juri dalam beasiswa ini adalah panitia program IMD MBA Scholarship dan Jim Ellert (profesor Emeritus keuangan dan Strategi). Informasi selanjutnya bisa diperoleh dengan mengirimkan email ke mbafinance@imd.ch

Editor: Safrizal
Sumber: edukasi.kompas.com

DPR Belum Juga Dewasa

DPR RI
Presiden Keempat Indonesia Abdurrahman Wahid pernah menyebutkan DPR sebagai kumpulan anak-anak TK pada 2000. Rabu (29/8) kemarin, DPR menginjak usia 67 tahun. Namun, usia tersebut tidak cukup untuk membuat DPR makin dewasa.

Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio menegaskan, memasuki usia 67, DPR masih menuai banyak kritik. Antara lain, pelaksanaan fungsi legislasi yang masih kedodoran, pembahasan anggaran yang kerap mencuatkan kasus, dan beberapa anggota DPR ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus korupsi.

“Seharusnya momen ulang tahun ini bisa dijadikan DPR sebagai momentum untuk melakukan refleksi guna memperbaiki kualitas kerja dan citra DPR di hadapan publik. Hingga kini, DPR masih dipandang buruk oleh mayarakat. Bahkan DPR merupakan lembaga terkorup berdasarkan survei yang dilakukan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) beberapa bulan silam,” kata Sulastio, melalui pernyataannya di Jakarta, hari ini.

Dari tahun ke tahun masalah legislasi selalu berulang, yaitu minimnya capaian legislasi dari target yang ditenrtukan. Tahun 2011/2012 saja DPR hanya mampu menyelesaikan 26 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari 64 RUU yantg ditergetkan. "Sebenarnya apa yang menjadi persoalan mendasar yang menyebabkan rendahnya pelaksanaan fungsi Legislasi DPR," katanya.

Setidaknya ada dua permasalahan yang mendorong rendahnya pelaksanaan fungsi legislasi DPR. Pertama soal mekanisme pembuatan Undang-Undang (UU) dan; kedua soal kapasitas anggota dalam membuat UU.

Terkait mekanisme pembuatan UU, Peraturan Tata Tertib DPR mengatur mekanisme pembuatan undang-undang dibagi dalam dua tahapan. Pertama, tahap penyusunan Draf RUU. Kedua tahap pembahasan RUU, pada tahap pembahasan RUU dilakukan bersama antara DPR dan Pemerintah.

Seringkali, dalam proses penyusunan Draf RUU prosesnya menjadi lama dan berlarut-larut karena pengaturanya tidak rigid. Sedangkan dalam proses pembahasan RUU DPR patuh pada Tatib, karena sudah ada pengaturan yang rigid, setiap pembahasan RUU harus selesai dalam dua kali masa sidang.

Dengan demikian, pembahasan RUU menjadi lebih cepat. Ke depan akan lebih baik diberlakukan aturan yang sama, baik dalam proses penyusunan draf RUU dan pembahasan RUU. Yaitu, selesai dalam dua kali masa sidang.

Mengenai kapasitas DPR dalam membahas RUU. Dengan mempertimbangkan jumlah alat kelengkapan dan kapasitas Anggota DPR dalam membahas RUU idealnya DPR hanya mampu menyelesaikan 30 RUU dalam satu tahun. Diharapkan, di masa mendatang, DPR lebih realistis dalam menentukan target RUU dalam prolegnas tahunan.

Setiap tahun pembahasan anggaran kerap memunculkan polemik karena proses pembahasannya tertutup. Dari proses ini kemudian muncul kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.
(waspada)

[Foto] Ospek Mahasiswa Baru Jurusan Ilmu Politik Unimal

HIMIPOL UNIMAL - Orientasi Study dan Perkenalan Kampus (OSPEK) Universititas Malikussaleh tahun akademik 2012-2013 di hari yang ke empat ini dilaksanakan di Jurusan masing-masing bidang study yang dipilih mahasiswa baru termasuk di jurusan ilmu politik.

Foto Dokumentasi OSPEK di Jurusan Ilmu Politik
Mahasiswa baru mencium dinding jurusan ilmu politik ketika memasuki ruangan dengan ucapan "saya cinta jurusan ilmu politik"



Mentor sedang mengarahkan peserta



Peserta sedang mendengarkan arahan mentor

Senam

Senam

Mentor dan panitia ospek

Senam



Baris sebelum memasuki ruangan

Mahasiswa baru jurusan ilmu politik foto bersama


Foto bersama mentor dan senior

Peserta ospek membacakan pengertian ilmu politik

Agam sedang berdiskusi dengan mahasiswa baru jurusan ilmu politik


Panitia menyiapkan bubur untuk pesserta ospek









kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Kampanye Papua Mederka oleh Australia [Foto ROL]
Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

Editor: Safrizal
Sumber: papuapost.com