Event Pemerintah Aceh 2014

Gubernur terpilih dilantik 25 Juni 2012

Gubernur dan wakil gubernur Aceh terpilih dalam pilkada 9 April  pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, akan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 25 Juni 2012.

"Pada 25 Juni 2012 telah ditetapkan pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih, dan itu hasil pertemuan saya dengan Mendagri di Jakarta," kata Penjabat Gubernur Aceh Tarmizi A Karim di Banda Aceh, hari ini.

Hal tersebut disampaikan Tarmizi A Karim setelah membuka Kongres Nasional ke-18 Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia (Petri).

"Sesuai harapan pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih oleh Mendagri itu pada jadwal yang telah ditentukan, dan mudah-mudahan tidak ada pergeseran," katanya menegaskan.

Pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh (partai politik lokal) terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh setelah memperoleh suara terbanyak (55,78 persen) pada pilkada. Pasangan itu ditetapkan sebagai Kepala Pemerintahan Aceh periode 2012-2017.

Terkait dengan Kongres Nasional Petri, Penjabat Gubernur Aceh dalam sambutannya mengharapkan semua pihak agar terdorong untuk lebih peduli dalam melakukan penelitian dan menangani berbagai penyakit tropik dan infeksi di seluruh Indonesia, khususnya di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

"Bagi kami di Aceh, penyakit tropik dan infeksi termasuk yang harus mendapat perhatian khusus mengingat tingginya prevalensi penyakit tersebut dikalangan masyarakat," katanya menambahkan.

Oleh sebab itu, melalui forum kongres Petri diharapkan para ahli dan dokter bidang penyakit tersebut terus memberikan perhatian serius dalam penanganannya.

Ditambahkan, masalah kualitas kesehatan masyarakat termasuk persoalan rumit yang dihadapi  Pemerintah Aceh dari tahun ketahun. Rendahnya kualitas kesehatan akaan mempengaruhi beberapa faktor, antara lain kualitas hidup kurang baik sebagai dampak konflik masa lalu.

"Kita mengakui tingkat pendidikan rendah, pelayanan dan wawasan kesehatan yang belum membaik di Aceh. Karenanya dalam Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ditekankan agar masalah kesehatan harus mendapatkan perhatian khusus," kata Tarmizi A Karim. 

Tangani Papua, Kebijakan Pemerintah Saling Bertentangan

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fdb3b41829df/lt4fdb638b174c8.jpg
Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengutuk berbagai peristiwa penembakan dan kekerasan di Papua yang  sepanjang semester pertama 2012 cenderung meningkat. Kedua lembaga itu akhirnya menuntut kepolisian untuk segera mengusut kasus-kasus tersebut namun tetap memberikan rasa aman kepada warga saat melakukan operasi pencarian pelaku penembakan atau kekerasan.


"Dalam kurun waktu Januari sampai awal Juni 2012, sekurang-kurangnya terdapat 11 korban meninggal dan 12 korban mengalami luka-luka," kata Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, membacakan pernyataan bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam jumpa pers di  gedung Komnas HAM Jakarta, Jumat (15/6). Peristiwa terakhir yang berhasil dipantau Komnas HAM dan Komnas Perempuan yaitu penembakan terhadap Koordinator Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni di Jayapura.


Pada kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan setiap penindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap para aktivis di Papua jangan serta merta mengatasnamakan melakukan tindakan terhadap kelompok separatis. Aparat keamanan harus membedakan mana yang separatis dan bukan. Dengan digunakannya tindak kekerasan sebagai pendekatan oleh aparat keamanan, maka Ifdhal menilai tindak kekerasan yang ada di Papua tidak dapat dituntaskan, yang terjadi malah sebaliknya.


Pemerintah, Ifdhal melanjutkan, sebelumnya telah mengumumkan kebijakan untuk membangun Papua dengan konsep
prosperity lewat Unit Percepatan Pembangunan untuk Papua dan Papua Barat (UP4B). Konsep itu dinilai sebagai langkah baik karena mengedepankan mekanisme dialogis dan bermartabat. Tapi di sisi lain Ifdhal melihat kebijakan itu kontradiktif dengan kebijakan lainnya. Yaitu menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan persoalan di Papua.

"Melihat masalah Papua harus berbeda, jangan seperti masa Orde Baru," kata Ifdhal.


Senada, perwakilan dari Komnas Perempuan, Sylvana Maria Apituley, mengatakan pemerintah harus menjalankan komitmennya atas kebijakan untuk membangun Papua dengan pendekatan yang memprioritaskan kesejahteraan. Namun,  serangkaian tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini, menurut Sylvana, telah menodai komitmen tersebut.


Sylvana mengingatkan, dalam
sidang tinjauan periodik (UPR) PBB di Jenewa, Swiss yang berlangsung beberapa waktu lalu sejumlah negara mempertanyakan Indonesia terkait ketidakjelasan penyelesaian permasalahan di Papua. Salah satu rekomendasi dalam UPR, pemerintah diimbau untuk menuntaskan berbagai persoalan di Papua lewat penegakan hukum, HAM dan demokrasi.

Penyelesaian persoalan itu, Sylvana melanjutkan, harus turut memandang penting pemulihan terhadap korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Pemulihan itu harus dilakukan kepada korban yang secara langsung atau tidak terkena dampak dari tindak kekerasan yang terjadi. Selain tindak kekerasan, bentuk pelanggaran HAM lainnya yang dialami masyarakat Papua dari hasil pantauan Sylvana adalah pelecehan seksual serta konflik atas sumber daya alam.


Anggota Komnas Perempuan lainnya, Saur Tumiur Situmorang, menambahkan, kaum perempuan di Papua terkena dampak tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dia memantau terdapat kaum perempuan yang terpaksa mengungsi, mencari tempat aman untuk berlindung. Saur mendesak agar pemerintah memenuhi HAM masyarakat Papua yang selama ini terpinggirkan. "Memenuhi hak atas kebenaran dan keadilan,” ujarnya.


Terpisah, menanggapi permasalahan di Papua, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengatakan akan segera turun ke lokasi secara langsung bersama Kapolri dan sejumlah pejabat pemerintahan lainnya. Mengacu amanat Presiden, Gamawan menyebut akan menindak pelaku kriminal secara hukum. Begitu pula pelanggaran dan penyelewengan yang dilakukan oleh aparat.

“Itu juga diproses,” kata dia kepada wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat (15/6).


Sementara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang fokus mengamati Papua, Muridan Satrio Widjojo, mengatakan persoalan di Papua memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Yaitu terkait masalah sosial dan politik. Seperti kemiskinan yang selama ini mendera masyarakat di Papua, menjadi salah satu pemicu tingginya tingkat kekerasan.


Sehingga menimbulkan persoalan politik, misalnya adanya keinginan sebagian kelompok untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Namun penyelesaian berbagai masalah terkait sosial dan politik harus dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang.


Terkait penyelesaian masalah untuk jangka pendek, Muridan melihat pentingnya penguatan aparat kepolisian di Papua dengan cara penegakan hukum. Baginya lembaga kepolisian mampu menyelesaikan permasalahan terkait tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang ada di Papua dengan penegakan hukum. Namun langkah itu menurut Muridan dapat ditempuh jika aparat kepolisian mampu bertindak tegas terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran serta mendapat dukungan politik dari pemerintah pusat.


Namun Muridan menekankan secara tegas, penguatan yang dimaksud kepada kepolisian bukan penambahan jumlah personil aparat di Papua. “Bukan penambahan pasukan tapi memperkuat secara politik supaya tidak ragu, siapapun yang menjadi pelaku ditindak dan diberi hukuman,” kata Muridan kepada
hukumonline ketika dihubungi lewat telepon, Jumat (15/6).