Event Pemerintah Aceh 2014

Menunggu Politik Tambang Gubernur Aceh

Oleh Muhamad Hamka

Muhamad Hamka
Pernyataan Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah yang akan meninjau ulang semua izin tambang di Aceh patut diapresiasi. “Saya akan kaji ulang seluruh izin usaha pertambangan yang ada. Ini demi masa depan Aceh. Sebab hampir semua pertambangan selama ini merusak lingkungan” (Serambi Indonesia, 1/6/2012).

Pernyataan Zaini ini disampaikan pada peringatan dua tahun mangkatnya Wali Nanggroe, Tgk. Hasan Muhammad Ditiro di Kompleks Makam Tgk. Chik Ditiro, Gampong Keumieru, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Kamis (31/5/2012).

Pernyataan dr. Zaini Abdullah ini merupakan angin segar bagi para pegiat lingkungan dan seluruh rakyat Aceh. Mengingat pertambangan di Aceh selama ini banyak memunculkan konflik, baik konflik antar warga dengan perusahaan tambang maupun antar sesama warga itu sendiri serta mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius.

Memang, pertambangan di Indonesia tak pernah membawa kemaslahatan bagi masyarakat, selain munculnya konflik horizontal dan hancurnya alam sekitar. Kasus bentrokan warga dan aparat kepolisian di Kecamatan Lambu, Bima-NTB beberapa waktu lalu yang menewaskan warga akibat diberondong oleh timah panas aparat adalah salah satu dari sekian banyak cerita pilu pertambangan di negeri ini. 

Begitu pun yang terjadi di Minahasa, Sulawesi Utara beberapa tahun yang lalu. Dimana akibat kegiatan tambang yang mengabaikan lingkungan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, Teluk Buyat tercemar yang mengakibatkan hancurnya biota laut dikawasan teluk tersebut. Juga sekitar 80 persen dari 266 warga teluk Buyat mengalami gangguan kesehatan, mulai kesehatan kulit hingga reproduksi, akibat logam berat Arsen yang mencemari sumur-sumur warga. 

Dan mungkin yang terekam dengan baik dalam memori kolektif rakyat Indonesia adalah pertambangan PT. Freeport di Papua yang konon merupakan salah satu tambang emas paling besar di dunia. Tapi apa yang di peroleh oleh masyarakat Papua? Sampai hari ini Papua masih bergejolak, karena boleh jadi bagi masyarakat Papua mereka tidak memperoleh manfaat dari keberadaan Freeport selain menguntungkan kaum penguasa dan kapitalis pemilik modal. 

Bagi Aceh sendiri pertambangan tidak jauh berbeda dengan persoalan yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Dimana pertambangan tak menyentuh kesejahteraan bagi rakyat banyak, terkecuali mengenyangkan perut para pemilik modal dan pemilik kuasa. Kisruh antara PT. Lhoong Setia Mining (LSM) dengan warga di Aceh Besar dan PT. Pinang Sejati Utama dengan warga di Aceh Selatan adalah contoh bagaimana pertambangan tak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. 

Memang tak bisa dimungkiri kalau politik pertambangan di Republik ini–mulai ditingkat pusat hingga ditingkat daerah–belum mencerminkan keberpihakan pada kalangan rakyat banyak. Kecendrungan yang terjadi selama ini adalah politik tambang yang lebih menguntungkan kepentingan investor. Sementara masyarakat selaku pemilik ulayat hanya sekadar mendapat ampas untuk tidak dikatakan menanggung derita akibat limbah beracun dan kerusakan lingkungan akibat keserakahan perusahan tambang.

Dampak Liberalisasi Ekonomi
Politik tambang pemerintah Indonesia (baik pusat dan daerah) yang melempem ini merupakan dampak langsung dari liberalisasi ekonomi yang perlahan-lahan mencabut kedaulatan ekonomi nasional dan melepaskannya kedalam korporasi (MNC’s/TNC’s). Proses ini menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya secara sumber daya material (raw material), namun tidaklah kaya secara penguasaan dan pengelolaan (Kaelani, 2008). 

Padahal konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945). Untuk itu apapun alasanya, semua proses pembangunan yang dilakukan oleh Negara termasuk dalam konteks pertambangan harus bermuara pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan pejabat apalagi kesejahteraan para cukong tambang. 

Oleh karena itu, kita berharap itikad dan kehendak (politik tambang) dr. Zaini Abdullah tak sekadar “janji angin surga” yang membuat rakyat Aceh terbuai, tapi betul-betul diartikulasikan dengan langkah kongkrit bagi kesejahteraan seluruh rakyat Aceh.