Oleh Sulistyowati Irianto
Tahun 2050, penduduk dunia diramalkan mencapai 9 miliar. Manusia akan menghadapi problem sangat kompleks. Mulai dari kekurangan pangan, air bersih, krisis energi, ancaman penyakit, kerusakan hutan, hingga semakin hancurnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Tahun 2050, penduduk dunia diramalkan mencapai 9 miliar. Manusia akan menghadapi problem sangat kompleks. Mulai dari kekurangan pangan, air bersih, krisis energi, ancaman penyakit, kerusakan hutan, hingga semakin hancurnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Bagaimanakah sikap para ilmuwan Indonesia menghadapi masalah kemanusiaan di masa depan? Mampukah perguruan tinggi di Indonesia melahirkan puncak kreativitas dan inovasi, sejajar dengan perguruan tinggi lain di dunia?
Universitas adalah gerakan moral tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dengan kapasitas intelektual dan kepeduliannya yang tinggi punya potensi sangat besar untuk ikut mengatasi berbagai persoalan dunia di masa depan.
Namun, potensi itu saja tak cukup. Ada hal mendasar yang sangat dibutuhkan, yaitu kebebasan akademik! Inilah landasan moral para ilmuwan untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya. Jika menghendaki bangsa yang kuat, kebebasan akademik tak boleh dibatasi oleh siapa pun, bahkan harus didukung sepenuhnya oleh negara melalui perangkat hukum.
Di Jerman dan Filipina, kebebasan akademik termuat dalam konstitusi. Bagaimana Indonesia? Sesudah 66 tahun Indonesia merdeka serta menjadi negara demokrasi dan rule of law, kebebasan akademik yang paling esensial itu pun masih harus diperjuangkan.
Universitas setiap saat dapat diintervensi pemerintah dalam bentuk apa pun, antara lain dengan dalih ketergantungan dana kepada pemerintah. Padahal, secara konstitusional sudah kewajiban negara untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara, termasuk menghidupi universitas. Jadi, tidaklah tepat apabila universitas menggadaikan kebebasan akademiknya, lalu dikontrol pemerintah, dengan alasan kegiatan operasionalnya dibiayai pemerintah. Bukankah itu sudah merupakan kewajiban negara?
Otonomi universitas
Pemerintah di negara-negara maju bahkan ada yang mendanai 100 persen, tetapi tidak mencampuri urusan pendidikan tinggi. Hampir di seluruh dunia—bahkan di sejumlah negara berkembang, termasuk ASEAN—universitas sudah menjadi independen, tetapi pemerintah tetap tidak melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendanaan. Ada banyak pemerintah yang bahkan menciptakan skema pinjaman keuangan kepada para mahasiswa untuk membiayai kuliah mereka.
Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam hal memandirikan perguruan tinggi. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa prestasi ilmuwan Indonesia termasuk yang rendah di dunia meski ada banyak orang pandai di negeri ini. Pemerintah bahkan tidak memiliki konsep mendasar. Kebijakan yang diambil pun ”tambal sulam”, yang justru menuai banyak kritik. Contohnya, mensyaratkan kelulusan mahasiswa dengan tulisan di jurnal ilmiah tanpa paham apa kriteria dan standar tulisan ilmiah itu.
Ketidakmandirian pendidikan tinggi juga menjelaskan mengapa banyak ilmuwan Indonesia yang sangat pandai lari ke luar negeri, membaktikan dirinya untuk kemajuan bangsa lain. Di sini mereka tidak mendapatkan laboratorium yang memadai dan kesejahteraan lahir batin yang dibutuhkan untuk sampai pada puncak prestasi akademik. Atmosfer akademik tak menunjang. Adakalanya ilmuwan tidak bisa bersuara karena terbelenggu oleh kedudukannya dalam hierarki birokrasi akademik.
Kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam universitas yang otonom. Di dalamnya terdapat persyaratan tata kelola dan aksesibilitas publik terhadap pendidikan tinggi.
Kebebasan akademik adalah hak setiap profesor, staf pengajar, dan peneliti terkait kegiatan mereka dalam pengajaran dan penelitian. Tentu saja yang sejalan dengan tradisi universitas, kode etik, prinsip toleransi, dan obyektivitas.
Profesor bebas menentukan isi kuliahnya dan menerbitkan hasil penelitian tanpa meminta persetujuan. Akademisi hanya mengabdi pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan, terbebas dari kepentingan politik praktis dan agama tertentu dalam tugasnya. Jangan terulang lagi masa kelam Orde Baru saat pemerintah mencengkeram universitas dan membungkam akademisi.
Kebebasan akademik juga ada pada institusi, yaitu kebebasan untuk mengangkat pegawai, menetapkan standar masuk bagi mahasiswa. Mahkamah Agung Amerika pernah memutuskan bahwa kebebasan akademik universitas adalah untuk menentukan sendiri siapa boleh mengajar, apa yang diajarkan, bagaimana cara mengajar, dan siapa yang diizinkan untuk belajar.
Independensi universitas
Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.
Apabila universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.
Otonomi universitas setali tiga uang dengan tata kelola universitas, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik untuk ikut mengontrol. Ada otonomi untuk mengelola keuangan sendiri dan tidak melibatkan birokrasi kementerian yang rawan korupsi seperti selama ini. Semakin terkait dengan birokrasi keuangan pemerintah, semakin tersedia celah bagi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.
Aksesibilitas masyarakat, khususnya kelompok rentan secara ekonomi dan sosial, harus dapat dijamin dalam universitas yang otonom. Pendanaan universitas tidak boleh mengandalkan dari bayaran mahasiswa, tetapi dari negara, korporasi dengan corporate social responsibility (CSR)-nya, dan kegiatan-kegiatan penelitian yang hebat.
Tujuan dari otonomi adalah memampukan para ilmuwan untuk sampai pada puncak prestasi akademik, seperti yang diamanatkan para pendiri bangsa ini. Kreativitas dan inovasi ilmuwan dinantikan masyarakat ilmiah dunia untuk bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan di masa depan.
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas dan negara. Mahkamah Konstitusi pernah membuat ”kesalahan” dengan putusan finalnya yang mematikan cikal bakal otonomi perguruan tinggi. Para profesor terbaik bangsa ini sekarang sedang berjuang merumuskan RUU Pendidikan Tinggi. Semoga kesalahan tidak terulang kembali, demi kejayaan Indonesia.
*Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Sumber: http://edukasi.kompas.com
Tidak ada komentar: