Yusuf Daud [Anggota Acheh Sumatra National Libeartion Front (ASNLF). Pernyataan ini Disampaikan pada Sidang HAM UPR di Jenewa]Jum`at, 25 Mei 2012 11:08 WIB
“Kekerasan sudah pasti menjadi satu bagian penting dari sejarah singkat Indonesia. Pemerintah Indonesia secara sistematis telah melanggar hak asasi manusia yang fundamental selama lebih dari 20 tahun ini dan terus melakukannya tanpa adanya hukuman.” Laporan Asia Watch 1990
Hampir 30 tahun lamanya Aceh menjadi ladang pembantaian bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kemudian diganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam upaya mereka untuk menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) - salah satu pergerakan untuk membebaskan Aceh dari Republik Indonesia.
Selama rentang waktu tersebut, ribuan jiwa rakyat Aceh yang tidak bersalah telah menjadi korban pembunuhan, termasuk sebagai korban pembunuhan diluar hukum, pembantaian massal, penyiksaan, penangkapaan secara sewenang-wenang serta penghilangan secara paksa. Kebrutalan yang terjadi tersebut telah pula terdokumentasi secara rinci baik oleh organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) lokal maupun organisasi-organisasi HAM international.
Sungguh sangat disayangkan bahwa kelakuan-kelakuan brutal yang dimaksudkan di atas dan juga pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia semasa konflik Aceh telah berhasil ditutup-tutupi atau bahkan dilupakan dengan adanya Perjanjian Helsinki di tahun 2005.
Pada Desember 2004, Aceh dilanda bencana Tsunami yang mengakibatkan sekitar 200, 000 jiwa rakyat Aceh meninggal dunia. Bencana alam ini ditambah dengan perang yang berkepanjangan telah mengantar kedua belah pihak, yaitu Indonesia dan GAM, ke meja perundingan. Sebuah perjanjian pun akhirnya disepakati pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, ibu kota Finland. Dan, karena itu, berakhirlah salah satu perang yang terpanjang di Asia Tenggara.
Banyak pengamat yang menganggap bahwa penyebab utama keberhasilan perundingan Helsinki adalah kerelaan GAM untuk meninggalkan opsi “merdeka” dari agenda perundingan. Namun menurut sebagian pakar tentang konflik Aceh seperti Aspinal (2005), keberhasilan perundingan tersebut justru disebabkan oleh “melemahnya kekuatan GAM yang disebabkan oleh operasi-operasi brutal darurat militer,” yang dilakukan sebelum datangnya tsunami.
Sebagai hasil dari perundingan tersebut, GAM diberikan status “pemerintah sendiri” yang didalamnya termasuk hak-hak untuk membuat partai lokal, Pengadilan HAM (PH), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta amnesti untuk tahanan politik dan lain sebagainya.
Dunia pun menarik nafas lega bahwa salah satu perang kotor Indonesia, setelah Timor Leste, berakhir dalam sekejap. Rakyat Aceh yang paling terkorbankan dalam konflik ini pun berduyun-duyun keluar ke jalan-jalan untuk menyambut berita damai dengan doa dan air mata bahagia.
Sekarang, tujuh tahun telah berlalu, rakyat Aceh telah menyaksikan sendiri bagaimana aktor-aktor perjanjian Helsinki, yaitu mantan GAM dan pihak Indonesia, telah mempermainkan jiwa-raga dan masa depan rakyat Aceh.
Kebanyakan Janji Helsinki seperti pengadilan HAM dan KKR serta lebih dari selusin poin-poin penting lainnya dari MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tetap belum terlaksana. Dan dalam kenyataannya, aktor-aktor tersebut malah lebih sibuk mencari jalan pintas untuk memutihkan kasus-kasus masa lalu daripada membuat qanun yang diperlukan bagi kasus tersebut untuk dibawa ke jalur hukum.
Bahkan mereka yang paling fanatik kepada proses perdamaian Helsinki pun kini sudah mulai pesimis bahwa kedua badan HAM penting, yaitu Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksudkan untuk menyediakan akses keadilan bagi korban kekerasan militer tersebut akan berhasil didirikan di Aceh.
Organisasi-organisasi HAM lokal dan nasional tidak habis-habisnya menyuarakan dan menuntut pelaku-pelaku pelanggaran HAM baik yang terjadi di masa lalu maupun sekarang untuk segera dibawa ke pengadilan, namun segala usaha mereka itu belum membawakan hasil.
Organisasi Pusat Transisi Keadilan Internasional (ICTJ) yang berbasis di New York (laporan 1998) mengatakan bahwa dalam proses pembinaan damai, suara korban itu tidak boleh diabaikan, karena mereka itu adalah aktor-aktor yang penting. Karena damai itu sendiri merupaka sebuah proses, tambah ICTJ lagi, maka keadilan harus ditegakkan dengan cara membongkar akar dari pokok permasaalahan contohnya dengan mengubah institusi-institusi yang terkait dengan pelanggaran HAM yang dimaksud.
Pelanggaran HAM di Aceh sudah dianggap sebagai masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Hal ini mengakibatkan pelanggaran HAM dalam bentuk yang sama masih saja terus berlangsung sampai saat ini walaupun keadaan di Aceh sudah damai. Tentunya efek dari kekebalan hukum tersebut sangatlah jelas kita rasakan yang secara nyata telah diakibatkan secara langsung oleh perbuatan Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak konsisten dalam menanggulangi kasus-kasus HAM masa lalu. Oleh karena itu, selama hak penentuan nasib sendiri dan hak kebebasan fundamental bangsa Aceh belum terpenuhi, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut pun tidak akan pernah berkesudahan.
Uskup Carlos Belo dari Timor Leste, pemenang Hadiah Nobel Damai, berkata: “Ketika sebuah pemerintahan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tidak pernah terjadi, sedangkan di depan kita hadir korban-korban yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tesebut memang pernah terjadi, maka pemerintahan tersebut akan kehilangan kredibilitas dan kekuasaannya. Tidak ada satu pemerintahan yang memerintah dengan menggunakan kekerasan yang bisa bertahan kecuali dengan terus menggunakan kekerasan. Tidak ada jalan mundur, karena kekerasan tetap hanya akan melahirkan kekerasan, dan para pelaku kejahatan hidup dalam ketakutan akan kemungkinan menjadi korban dari kejahatan itu sendiri dikemudian hari.”
Sekarang terserah kepada Indonesia sendiri untuk membuktikan ketidak-benaran pernyataan di atas, dan merupakan tugas masyarakat international untuk membantu Indonesia untuk mewujudkan bahwa “Tidak ada satu pemerintahan yang memerintah dengan menggunakan kekerasan bisa bertahan kecuali dengan terus menggunakan kekerasan” itu tidak benar.
Sumber: http://www.theglobejournal.com
Hampir 30 tahun lamanya Aceh menjadi ladang pembantaian bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kemudian diganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam upaya mereka untuk menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) - salah satu pergerakan untuk membebaskan Aceh dari Republik Indonesia.
Selama rentang waktu tersebut, ribuan jiwa rakyat Aceh yang tidak bersalah telah menjadi korban pembunuhan, termasuk sebagai korban pembunuhan diluar hukum, pembantaian massal, penyiksaan, penangkapaan secara sewenang-wenang serta penghilangan secara paksa. Kebrutalan yang terjadi tersebut telah pula terdokumentasi secara rinci baik oleh organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) lokal maupun organisasi-organisasi HAM international.
Sungguh sangat disayangkan bahwa kelakuan-kelakuan brutal yang dimaksudkan di atas dan juga pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia semasa konflik Aceh telah berhasil ditutup-tutupi atau bahkan dilupakan dengan adanya Perjanjian Helsinki di tahun 2005.
Pada Desember 2004, Aceh dilanda bencana Tsunami yang mengakibatkan sekitar 200, 000 jiwa rakyat Aceh meninggal dunia. Bencana alam ini ditambah dengan perang yang berkepanjangan telah mengantar kedua belah pihak, yaitu Indonesia dan GAM, ke meja perundingan. Sebuah perjanjian pun akhirnya disepakati pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, ibu kota Finland. Dan, karena itu, berakhirlah salah satu perang yang terpanjang di Asia Tenggara.
Banyak pengamat yang menganggap bahwa penyebab utama keberhasilan perundingan Helsinki adalah kerelaan GAM untuk meninggalkan opsi “merdeka” dari agenda perundingan. Namun menurut sebagian pakar tentang konflik Aceh seperti Aspinal (2005), keberhasilan perundingan tersebut justru disebabkan oleh “melemahnya kekuatan GAM yang disebabkan oleh operasi-operasi brutal darurat militer,” yang dilakukan sebelum datangnya tsunami.
Sebagai hasil dari perundingan tersebut, GAM diberikan status “pemerintah sendiri” yang didalamnya termasuk hak-hak untuk membuat partai lokal, Pengadilan HAM (PH), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta amnesti untuk tahanan politik dan lain sebagainya.
Dunia pun menarik nafas lega bahwa salah satu perang kotor Indonesia, setelah Timor Leste, berakhir dalam sekejap. Rakyat Aceh yang paling terkorbankan dalam konflik ini pun berduyun-duyun keluar ke jalan-jalan untuk menyambut berita damai dengan doa dan air mata bahagia.
Sekarang, tujuh tahun telah berlalu, rakyat Aceh telah menyaksikan sendiri bagaimana aktor-aktor perjanjian Helsinki, yaitu mantan GAM dan pihak Indonesia, telah mempermainkan jiwa-raga dan masa depan rakyat Aceh.
Kebanyakan Janji Helsinki seperti pengadilan HAM dan KKR serta lebih dari selusin poin-poin penting lainnya dari MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tetap belum terlaksana. Dan dalam kenyataannya, aktor-aktor tersebut malah lebih sibuk mencari jalan pintas untuk memutihkan kasus-kasus masa lalu daripada membuat qanun yang diperlukan bagi kasus tersebut untuk dibawa ke jalur hukum.
Bahkan mereka yang paling fanatik kepada proses perdamaian Helsinki pun kini sudah mulai pesimis bahwa kedua badan HAM penting, yaitu Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksudkan untuk menyediakan akses keadilan bagi korban kekerasan militer tersebut akan berhasil didirikan di Aceh.
Organisasi-organisasi HAM lokal dan nasional tidak habis-habisnya menyuarakan dan menuntut pelaku-pelaku pelanggaran HAM baik yang terjadi di masa lalu maupun sekarang untuk segera dibawa ke pengadilan, namun segala usaha mereka itu belum membawakan hasil.
Organisasi Pusat Transisi Keadilan Internasional (ICTJ) yang berbasis di New York (laporan 1998) mengatakan bahwa dalam proses pembinaan damai, suara korban itu tidak boleh diabaikan, karena mereka itu adalah aktor-aktor yang penting. Karena damai itu sendiri merupaka sebuah proses, tambah ICTJ lagi, maka keadilan harus ditegakkan dengan cara membongkar akar dari pokok permasaalahan contohnya dengan mengubah institusi-institusi yang terkait dengan pelanggaran HAM yang dimaksud.
Pelanggaran HAM di Aceh sudah dianggap sebagai masa lalu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Hal ini mengakibatkan pelanggaran HAM dalam bentuk yang sama masih saja terus berlangsung sampai saat ini walaupun keadaan di Aceh sudah damai. Tentunya efek dari kekebalan hukum tersebut sangatlah jelas kita rasakan yang secara nyata telah diakibatkan secara langsung oleh perbuatan Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak konsisten dalam menanggulangi kasus-kasus HAM masa lalu. Oleh karena itu, selama hak penentuan nasib sendiri dan hak kebebasan fundamental bangsa Aceh belum terpenuhi, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut pun tidak akan pernah berkesudahan.
Uskup Carlos Belo dari Timor Leste, pemenang Hadiah Nobel Damai, berkata: “Ketika sebuah pemerintahan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tidak pernah terjadi, sedangkan di depan kita hadir korban-korban yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa tesebut memang pernah terjadi, maka pemerintahan tersebut akan kehilangan kredibilitas dan kekuasaannya. Tidak ada satu pemerintahan yang memerintah dengan menggunakan kekerasan yang bisa bertahan kecuali dengan terus menggunakan kekerasan. Tidak ada jalan mundur, karena kekerasan tetap hanya akan melahirkan kekerasan, dan para pelaku kejahatan hidup dalam ketakutan akan kemungkinan menjadi korban dari kejahatan itu sendiri dikemudian hari.”
Sekarang terserah kepada Indonesia sendiri untuk membuktikan ketidak-benaran pernyataan di atas, dan merupakan tugas masyarakat international untuk membantu Indonesia untuk mewujudkan bahwa “Tidak ada satu pemerintahan yang memerintah dengan menggunakan kekerasan bisa bertahan kecuali dengan terus menggunakan kekerasan” itu tidak benar.
Sumber: http://www.theglobejournal.com
Tidak ada komentar: