Oleh Bisma Yadhi Putra
Hasil rekapitulasi suara yang diumumkan Komisi Indpenden Pemilihan (KIP) menyimpulkan bahwa pasangan Irwandi-Muhyan berada di posisi runner-up dengan perolehan suara sebesar 29,18 persen, kalah telak dari perolehan suara rival bebuyutannya, Zaini-Muzakkir. Kekalahan Irwandi-Muhyan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Tetapi yang mengejutkan adalah persentase suara yang selisihnya cukup besar dari Zaini-Muzakif, yang berhasil meraup suara sebesar 55,78 persen. Prediksi banyak pihak bahwa perolehan suara antara pasangan Zaini-Muzakir dan Irwandi-Muhyan akan berimbang akhirnya terbukti salah.
Melihat hasil quick count sementara saja, yang diumumkan oleh aneka lembaga survey di beberapa media massa beberapa saat sehabis proses pemungutan suara, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa rasanya sangat sulit bagi pasangan Irwandi-Muhyan untuk mengejar ketertinggalan perolehan suara mereka dari rival terberatnya, Zaini-Muzakir. Dan hasil perolehan suara yang diumumkan KIP dalam sidang pleno pun membuktikannya. Para pengamat, analis politik, akademisi, bahkan tukang somay sekalipun, tentu akan bertanya-tanya: Mengapa Irwandi-Muhyan kalah? Mengapa perolehan suara Irwandi-Muhyan terpaut jauh dari perolehan suara Zaini-Muzakir sebagai lawan terberat?
Setidaknya ada beberapa penyebab yang membuat perolehan suara Irwandi-Muhyan tersungkur jauh di bawah perolehan suara Zaini-Muzakir. Pertama, Muhyan Yunan, sebagai pasangan Irwandi, belum cukup populer di kalangan masyarakat luas. Padahal, peran calon Wakil Gubernur dalam memengaruhi pemilih dalam jumlah yang besar tidak bisa diabaikan. Karena Muhyan belum begitu tenar, apalagi jika dibandingkan dengan Muzakir Manaf selaku pasangan dari Zaini Abdullah, popularitasnya tertinggal jauh.
Untuk bisa mendulang suara dalam jumlah besar, seharusnya Irwandi menggandeng tokoh yang namanya sudah populer tidak hanya di kalangan birokrat atau masyarakat menengah ke atas semata, melainkan juga yang namanya sudah populer di telinga masyarakat menengah ke bawah sekalipun, misalnya seperti Sofyan Dawood. Seandainya saja Sofyan Dawood yang digandeng, yang kini berada di kubu Irwandi, tentu akan lain ceritanya.
Padahal, sebagaimana diketahui, rival terberat Irwandi-Muhyan adalah kolaborasi pasangan yang nama keduanya sudah sangat populer di masyarakat luas. Zaini bukanlah orang yang tidak dikenal publik luas, begitu pula dengan Muzakir Manaf. Masing-masing dari keduanya punya kekuatan yang besar. Bahkan jika posisi pasangan ini dibalik, Muzakir Manaf yang menjadi calon Gubernur sementara Zaini Abdullah yang menjadi calon Wakilnya, kekuatan politiknya tetap kuat.
Kedua, masyarakat luas sudah “diracuni” dengan sentimen politik bahwa calon independen, atau kontestan yang maju melalui jalur persorangan, adalah pihak yang tidak menghargai MoU Helsinki. Calon independen diasumsikan sebagai “pengkhianat” dan “najis” untuk dipilih. Propaganda politik seperti ini tentu sangat mudah memengaruhi masyarakat luas yang umumnya masih mudah terpancing provokasi dari pihak-pihak tertentu. Celakanya, ternyata sentimen terhadap calon independen tidak begitu sinis di mata publik terhadap kontestan yang maju melalui jalur perseorangan lainnya, tetapi lebih dituju kepada personal Irwandi Yusuf.
Karena propaganda politik yang tidak sehat seperti ini, masyarakat yang terpengaruhi akhirnya melihat adanya calon independen dalam Pilkada bukanlah sebuah kemajuan demokrasi, melainkan “cacat” besar dalam politik. Padahal jika mau menilai secara objektif dan rasional, banyak visi dan misi atau program kerja dari kontestan-kontestan yang maju melalui jalur independen tidak kalah bagus dan berkualitas dengan kontestan yang diusung partai politik.
Bagi pemilih yang cerdas dan rasional, tentu mereka tidak akan terpengaruh dengan provokasi untuk menumbuhkan sentimen negatif terhadap calon independen. Sayangnya, jumlah pemilih cerdas di Aceh masih sangat minim. Kebanyakan pemilih lebih mengedepankan ketokohan seorang kontestan atau sentimen-sentimen politik dalam menentukan pilihannya.
Ketiga, kurang kuatnya konsolidasi mesin politik yang dijalankan Irwandi-Muhyan. Walaupun punya mesin politik yang besar, tetapi Irwandi kurang mengoptimalkan upaya untuk menambah kekuatan mesin politiknya. Karena rival terberatnya adalah kontestan yang diusung partai politik, seharusnya Irwandi membangun pula sebuah kekuatan melalui partai politik. Jauh-jauh hari sebelum Pilkada, memang sempat berhembus kabar bahwa Irwandi beserta pihak-pihak yang berada di belakangnya akan mendeklarasikan sebuah partai politik lokal baru sebelum Pilkada dilangsungkan.
Namun sampai hari pemungutan suara Pilkada partai politik itu belum juga dideklrasikan. Seandainya Irwandi mendirikan partai politik tersebut sebelum Pilkada, mesin politiknya akan lebih mantap dan kuat. Konsolidasi di daerah-daerah akan lebih mudah dibangun. Segenap pendukung Irwandi dirangkul ke dalam sebuah wadah agar tidak “lari” ke kontestan lain. Walaupun para pendukungnya diintimidasi, tetapi mereka tidak akan mudah goyah karena sudah terikat dengan lebih erat di dalam partai politik tersebut.
Selanjutnya, walaupun Irwandi tetap tercatat sebagai kontestan yang maju melalui jalur persorangan, dengan adanya partai politik tersebut, ia akan membuat peta persaingan mejadi imbang. Yang muncul kemudian adalah partai politik versus partai politik. Namun dapat dipahami mengapa partai politik itu tidak bisa dideklarasikan sebelum Pilkada. Mungkin saja karena semua pendukungnya, termasuk Irwandi sendiri, sedang sibuk dan fokus ke masalah Pilkada terlebih dahulu.
Tetapi jika seandainya Irwandi mendirikan partai politik itu sebelum Pilkada, tentu akan lain ceritanya. Mesin politiknya akan lebih kuat. Walaupun kalah, tentu perolehan suaranya tidak terpaut jauh dari pasangan Zaini-Muzakir.
Kekalahan Irwandi-Muhyan memang mengejutkan pihak yang memprediksi pasangan ini akan menang. Akan tetapi, yang lebih dikejutkan adalah pihak yang memprediksi bahwa Irwandi-Muhyan akan menang atau kalah tipis dari pasangan Zaini-Muzakir.
Menurut analisis atau prediksi pihak yang disebut terakhir, Irwandi-Muhyan dan Zaini-Muzakir punya kekuatan atau mesin yang kuat, jadi perolehan suaranya pasti tidak akan jauh berbeda. Namun fakta membuktikan sebaliknya. Kini Irwandi Yusuf tidak akan duduk lagi di kursi Gubernur Aceh, untuk periode 2012-2017.
*Bisma Yadhi Putra adalah Mahasiswa Ilmu Politik Unimal
*Bisma Yadhi Putra adalah Mahasiswa Ilmu Politik Unimal
Tidak ada komentar: