KENANGAN
By Asriatun*
[Mahasiswi Ilmu Politik Unimal Angkatan 2012]
Rintik-rintik berjatuhan, disertai
kilatan. Tampak samar ku lihat bayangan pohon dari balik koseng jendelaku.
Angin perlahan menggoyangkan dedaunan. Mengibas-ngibas dinginnya kegelapan
malam. Bulan bersembunyi di balik tumpukan awan hitam. Seolah malu menatapku.
“Ah, apa-apaan ini, apa yang di
pikirkan langit. Kenapa tiba-tiba hujan, bukanya tadi langit tampak baik-baik
saja” Muncul spekulasi dan berbagai opini membucah dan berdesakan dalam sel-sel
otak ku.
“Apa mungkin langit merasakan hal
yang sama”. Yah, itu mungkin. Apa langit mewakili perasaanku yang sedang
dalam duka. Apa-apaan dunia ini begitu tega melihat aku terlunta-lunta dalam
kesedihan. Belum cukup kebahagian ku sendiri yang aku korbankan demi mereka.
Belum cukup puas?.
“Itu langit. Ya, langit yang sedang
menangis, tepatnya nangis darah”. Membanting pintu kamar . ku rebahkan tubuhku
yang kaku ke tilam yang agak lusuh . Memikir dan menimang-nimang jalan
pikiranku yang terlalu kaku dan kusut. Seperti kumpulan benang-benang yang tak
lagi dapat dipisahkan antara pangkal dan ujungnya. “Apalagi ini?, belum cukup
manusia-manusia busuk itu mendapatkan apa yang sebenarnya menjadi milikku?”,
pertanyaan itu hadir perlahan, satu persatu bejajar rapi di anganku.berharap mendapatkan
jawaban yang pasti. Aku terpaku menatap langit. Menyeringai sediri dalam hati.
Mencoba menelisik secara lebih menyeluruh gambaran muka langit yang pucat.
Sementara yang lain berleha-leha
dengan girangnya. Menikmati setiap hembusan nafas mereka dengan senyum bahagia,
ah, mungkin juga palsu. Jaman sekarang sulit menemukan sesuatu yang masih original.
Sedikit sekali bahkan yang mengagung-agungkan kejujuran. Semua tak ada yang
tampak bebeda dari mereka. Imitasi semua. Senyum, sabar, tawa, marah. Tak
tampak jelas lagi. Aku memilih bersandar di teras rumah, rintik-rintik itu
menyentuh lembut permukaan kulitku. Kibiarkan mereka membelai lembut
kulit-kulit yang kusam karna terik yang membakar siang tadi. Bau tanah
menyeruak menembus penciumanku, “Bau ini, bau yang selalu kurindu”. Kubiarkan
bau ini berjalan menembus hidungku dan mengalir bersama aliran darahku.
Memenuhi tubuhku yang mualai basah karna hujan.
Ku sadari tubuh ini mulai menggigil,
aku bangkit dan berjalan perlahan ke dalam kamar. Tampak di sudut kamar
sebuah cermin kecil. Kupandangi perlahan.
“kau
sedang pikir apa?”
“Loh,
kok ?” melotot. Otot-otot mata sedikit menegang.
“Jangn
terkejut, tenanglah !. ini aku?”
“kamu,
aku?”
“Laiya,
aku ini kamu”
Aku melihat diriku dalam cermin, dia
persis seperti aku rambut, mata , hidung, dan semunya. Ini benar-benr
aneh. Tiba-tiba kilat menyambar perlahan, gambarku pecah dan bayangan ku
menghilang perlahan, aku tersadar dalam lamunku. Dan kulihat hujan belum juga
reda.
“Hujan?” desis ku perlahan memecah
keheningan.
Hujan kini mengingatka ku tentang
hari-hari terakhir sekolah, perlahan rasanya waktu berlalu begitu cepat,
merangkul-rangkul usia ku yang semkin dewasa. Saat-saat bersama mereka ,
berbagi canda, tawa, tangis, bahagia, marah kesal semua rasa bercampur menjadi
satu memenuhi memori otakku yang akhir-akhir ini terlalu sibuk memikirkan
tugas-tugas. Aku bangkit menghapiri hape yang ku letakkan di atas meja,
perlahan aku membukanya. Dan yang pertama ingin kulihat adalah wajah-wajah
polos teman-temanku. Sedikit geli rasanya ketika aku melihat satu persatu
lembaran foto mereka. Gaya-gaya aneh mereka mebuat aku tak bisa menahan tawa,
ada-ada saja kekocakan mereka.
Kembali kurebahkan tubuhku perahan,
memejamkan mata berharap esok masih bisa kembali terjaga. Memulai rutinitas
seperti biasa. Perlahan mata mulai menutup menembus dinding waktu dalam
cakrawala mimpi. Keheningan menganga.
***
Perlahan kubuka mata, sayup-sayup kulihat
cahaya menembus celah-celah tirai kamar.“Pagi kembali datang”. Aku bangkit dan
berjalan dalam kegelapn subuh menelusuri setiap sudut ruangan. Kulihat jam
menunjukan pukul 04.57. Ku kuatkan diriku berjalan ke kamar mandi untuk
berwudhu’. Membasuh perlahan setiap anggota wudhu’ ku. Kusujudkan diriku ke
pangkuan Ilahi Rabbi. Menjalani kewjiban ku sebagi insan di bumi . Aku duduk
bersipuh di pangkuanNya. Perlahan Air mata menetes membasahi pipiku. “ Engkau
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ampunilah dosa hamba, Jangan biarkan
hamba tersesat begitu jauh, permudahlah segela yang sukar, limpahkanla
kebahagian kepada orang yang hamba cintai dan yang mencintai hamba ya Allah.
Ampunilah Dosa-dosa orang tua hamba ya Allah”. Air mata terus
saja mengalir.
Dalam sujud, keheningan menyeruak
menembus dinding-dinding waktu. Aku hanyut dalam dekapan lembut Sang Khalik,
untuk sesaat. Kubuka kemabli mata perlahan, menerawang jauh ke sudut jendela.
Kulihat fajar mulai semakin bersinar. Bergegas kulangkahkan kaki ke kamar mempersiakan
segala keperluan untuk sekolah
***
Jantungku berdegup kencang, kudengar
seluruh ruang kelas menggema lantunan ayat suci Al-Qur’an.
“Ya Allah, telat hari ini,
jangan-jangan ibu Sri sudah datang lebih dahulu. Bagaimana ini ya Allah”.
Kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalaku, aliran darahku seolah mengalir
begitu cepat. Menerobos begitu saja keluar tanpa kendali dari serambi
jantungku. Aku tertuduk lesu. Kukuatkan kaki untuk terus berjalan. Bukan karna
Ibu Sri guru yang Kejam, tapi justru keramahan dan kelembutan hatinyalah yang
membuat aku menjadi seperti ini,
Aku tersentak , semua mata tertuju
padaku sekarang. Mereka menertawaiku. “haha, mati lampu ya ?”. aku ternganga,
tak sempat aku menjawab pertanyaan mereka, aku menundukkan kepalaku. “
Masyaallah, kenapa bisa seperti ini, kenapa aku bisa sampai salah memakai
seragam sekolah”. “Apa yang terjadi padaku sebenarnya. Ada apa dengan hari
ini”. Perlahan aku berjalan menghampiri ibu sri yang sedang duduk di atas kursinya.
“ Knapa Nak, kok bisa salah pakai seragam, lagi bnyak pikiran ya makanya gak
konsen ?”. “ Jika di izinkan saya ingin pamit pulang untuk menggati seragam”.
Aku tertunduk malu, malu hati hari ini kepada teman-temanku. “ Iya, gak papa
kok Nak, tapi jangan lupa minta izin piket ya Nak. “Iya Bu, makasi bu”.
***
Aku tertengun, keresapi hari ini
dengan sangat apik. Kubiarkan sel-sel otakku mengunyah segala informasi dengan
baik, sehingga data-data yang dikirim panca indraku dapat diproses secara
sempurna.
“hai, ngelamunin apa hayoo?.”
“Ah,
kau mengagetkanku saja.”
“
Lagian siapa suruh ngelamun.”
“
Yee, siapa juga Yang ngelamun, sok tau.” Perlahan, aku tenangkan pikiranku.
“Asri,
ayolah. Aku ini temanmu. Masa kau bersikap begitu padaku
“Maaf
, pikiranku sedang kacau?”
“Tenanglah,
lupakan hari-hari sulit ini. Lupakan semua ksedihan, tangisan. Itu hanya akan
semakin menyulitkan kehidupan kita. Tak ada gunanya menyesali yang telah
terjadi. However the past remain the past, will never be the future. But,
our action in the past shows how our future.”
Kata-kata itu menyadarkan aku, aku
tersentak, kulihat dia berlalu pergi menjauh dariku, pesan-pesan itu megugah
hati. Kuterwang kembali pikran pikiranku ke masa lalu, masa dimana aku mulai
memijakkan kaki di sekolah ini, kenanga-kenangan manis putih abu-abu. Kala aku
tersudut, terjebak, teremehkan, bahkan dicibir oleh mereka-mereka yang sedikt
lupa diri. Kenangan MOS bersama teman-teman, membersihkan pekarangan sekolah
dibwah terik, bahkan menikmati hidangan makan siang denagan bekal yang
seadanya. Disitulah titik kenikmatan yang luar biasa mulai kurekam. Dimana
kebersamaan itu lebih dari segalanya. Saling berbagi walau hanya dengan
sepotong ikan asin. Rasanya di sana kemewahan hanya akan menjadi sesuatu yang
sangat membosankan. Terkurung dalam ruang mengah namun pengap, terbatasi
gerak-gerik karna rasa was-was akan kejahatan. Terkurung sendiri dengan makanan
Fast Food yang lama-lama juga akan basi dengan sendirinya.
Kengan-kenangan itu membiusku
semakin hanyut dalam samudra masa lalu, ketika aku ditempatkan di sebuah ruang
kelas yang begitu jauh dari targetku, namun aku tetap mensyukurinya. Di sanalah
aku memulai interaki dengan kawan baruku, hari pertama duduk di antara mereka
membuat aku nyaman. Begitupun hari-hari berikutnya. Semua seolah berlalu begitu
cepat. Jarum jam seolah berlari menembus masa. Tak terasa enam bulan berlalu
begitu cepat saat-saat penantianku akhirnya tiba, prosesi pembagian rapor yng
begitu aku nanti-nanti. Ibuku yang sejak pagi tadi telah bersiap-siap untuk
kesekolahku berangkat dengan hati gelisah.
“ Ya Allah, bahagiakanlah ibu hamba,
jangang pernah engkau biarkan raut wjahnya bersedih hari ini”.
Aku menunggunya kembali dengan
membawa berita gembira, mondar-mandir langkahku kesana–kemari. Sesekali kubuka
perlahn tirai jendelaku, berharap Dia telah kembali. Lama kutunggu ,namun
akhirnya Ibu kembali dengan wajah gembira. Kurangkul tubuhnya dan kukecup kedua
pipinya.Ibuku terharu, bagaimana tidak bertahun –tahun aku menempuh pendidikan
selalu saja aku tersudutkan oleh perlakuan diskriminatif . hanya karena aku
terlahir dari keluarga yang tidak mampu, mereka berlaku keji padaku. Sekeras
apapun usahaku menjadi yang terbaik, semau hanya akan sia-sia. Kusadri betul
memang aku adalah bagian dari ketidak sempurnaan hidup mereka. Karena penilaian
manusia hanya mengacu pada kapasitas fisik semata,. Dan mungkin aku bukan
termasuk kiriteria yang mereka cari.
Namun ku akui atau tidak, aku merasa
belum puas dengan apa yang telah aku capai. Bagaiamana tidak, orang-orang
disekitarku memandang aku dengan sebelah mata. Pencapaiaku itu hanya karena
kawan-kawan ku memiliki IQ yang berada dibawah rata-rata. Aku jatuh, tersungkur
dalam lubang ketidak berdayaan. Aku ingin lebih, semangatku mengebu. Kubulatkan
tekat untuk menjadi lebih baik. Bagaimanapun Today should be better than
yesterday. And should be better tomorrow than today. salah satu
prinsip hidup yang aku pegang hingga saat ini. Satu hal yang ku sesali
adalah ternyata harapanku pupus sudah, aku tak mampu untuk lebih membahagiakan
Ibuku . karna tak lam setelah itu Ibu Menghembuskan nafas terakhirnya.
Hari-hari berlalu bitu saja, tak
yang berarti lagi, semua yang telah aku capai dengan susuah apayah hanya akan
jadi angin lalu, tak ada lagi senyum bahagia ibu, tak ada lagi senyum
kebanggaan dari Ibu. Semua hanya akan tersa hampa. Tak tau lagi semua
pencapaian ini untuk siapa.
Pencapaian yang ku raih dengan susah
payah akhirnya membuat aku semakin kecewa. Bayangan kata Putu Wijaya
Terngiang-ngiang di kepalaku “ Kemenangan melahirkan musuh, kau akan
masuk dalam lingkaran kecemburuan. Disekitarmu bergetar rasa iri. Kau senyum
dianggap mengejek, bila tertawa dikira sombong, bahkan bila diam dicap angkuh,
tetapi mengatakan kalah disaat menangpun guna menjaga perasaan orang lain pasti
dianggap munafik. Wahasil kemenangan adalah kekalahan yang keji”. Begitula aku
kini, masa-masa sulit ini ku lalui sendiri. Hatiku kini menjadi semakin beku
tak kala orang-orang dismpingku mencibirku dengan halus namun menusuk,
menuduhku dengan pikiran-pikiran picik yang begitu ngeri. Aku terlunta-luna
mencari pengamanan hati. Kutabahkan hatiku hanya demi beberapa bulan lagi.
Walau dunia terlihat semakin tidak
menarik lagi, kukubur dalam-dalam perasaan kecewaku ini, aku tidak ingin
membuat orang –orang di sekitarku kecewa. Kubiarkan kata-kata mereka hanya
menjadi angin lalu belaka. Menembus masuk begitiu saja dari telinga kiri dan
keluar dari telinga kanan tanpa ada Filter.
Bell berbunyi, dan kini aku harus
berjalan di kenyataanku lagi.
Tidak ada komentar: