Mahasiswa Tuntut Qanun KKR |
Oleh Saifuddin Bantasyam
KINI, beberapa komponen masyarakat mulai membicarakan lagi keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Selama hamoir dua pekan terakhir ini saja, misalnya, isu tentang KKR setidaknya berkembang dalam sejumlah forum. Di antaranya, di LBH Aceh dengan topik “Tantangan dalam Pembentukan KKR Aceh” yang menghadirkan Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), M Nasir Djamil (Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI) dan Abdullah Saleh (Anggota DPRA). Kemudian, kampanye melawan lupa dalam bentuk roadshow oleh Koalisi NGO HAM di Universitas Muhammadyah Aceh dan di Unsyiah, dengan tema “Kebenaran di Masa Depan”. Roadshow ini direncanakan akan dilaksanakan juga di enam universitas lainnya di Aceh.
KINI, beberapa komponen masyarakat mulai membicarakan lagi keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Selama hamoir dua pekan terakhir ini saja, misalnya, isu tentang KKR setidaknya berkembang dalam sejumlah forum. Di antaranya, di LBH Aceh dengan topik “Tantangan dalam Pembentukan KKR Aceh” yang menghadirkan Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM), M Nasir Djamil (Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI) dan Abdullah Saleh (Anggota DPRA). Kemudian, kampanye melawan lupa dalam bentuk roadshow oleh Koalisi NGO HAM di Universitas Muhammadyah Aceh dan di Unsyiah, dengan tema “Kebenaran di Masa Depan”. Roadshow ini direncanakan akan dilaksanakan juga di enam universitas lainnya di Aceh.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memerintahkan pembentukan KKR melalui sebuah qanun. Nah, apakah Qanun KKR Aceh akan segera disahkan oleh DPRA? Hanya DPRA yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun DPRA jelas memiliki utang kepada masyarakat, utamanya para korban pelanggaran HAM yang ingin mencari keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu.
Janji DPRA
Pada 2010 lalu, DPRA pernah berjanji akan memprioritaskan Qanun KKR, namun sampai sekarang, janji itu tak dipenuhi. Di pihak lain, para korban konflik yang didukung oleh beberapa LSM dan mahasiswa, terus mendesak agar hak-hak mereka dipulihkan. Tuntutan agar DPRA memberi perhatian kepada KKR bukan datang tiba-tiba tanpa alasan. Melalui Abdullah Saleh dari Fraksi PA, DPRA berjanji bahwa akan membahas Rancangan Qanun KKR itu dalam bulan Mei ini (Serambi Indonesia, Rabu 2/5). Juga, anggota mayoritas di DPRA saat ini adalah dari Partai Aceh (PA).
Ditarik ke proses damai Aceh, MoU Helsinki yang antara lain menyebut tentang perlunya pembentukan KKR di Aceh, dapat dianggap mewakili suara GAM sendiri, yang kini sebagian anggotanya bertransformasi dalam organisasi politik Partai Aceh (PA). Usulan KKR di dalam RUU Pemerintah Aceh tak juga lepas dari dukungan DPRA pada 2005, dan sebagaimana kemudian kita tahu UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengatur dengan jelas tentang perintah pembentukan KKR di Aceh. Tetapi di atas semua itu, harus dipastikan bahwa tanggung jawab itu memang tidak terletak pada satu atau dua atau lebih partai, melainkan pada DPRA sebagai sebuah institusi.
Jadi, berharap banyak kepada DPRA saat ini, merupakan langkah yang tepat. Ketepatan ini bahkan didukung oleh realitas bahwa Pemerintah Aceh sendiri sudah menyelesaikan draf Qanun KKR Aceh, melalui pembentukan suatu kelompok kerja, meskipun kemudian terdengar informasi bahwa Qanun KKR Aceh akan menjadi qanun inisiatif DPRA. Saya kira, informasi bahkan membuat harapan menjadi lebih besar; tak ada halangan lagi bagi adanya pembahasan terhadap draf Qanun KKR itu di lembaga legislatif.
Memang ada beberapa masalah yang muncul, bahkan sejak tahun 2008, terkait dengan KKR di Aceh tersebut. Misalnya, ada keengganan dari sejumlah pihak untuk pembentukan KKR, termasuk sebagian warga masyarakat. Mereka antara lain menyebut bahwa jika KKR dibuat di Aceh, maka luka-luka lama akan “bernanah” kembali, atau KKR itu hanya membangkitkan batang terendam.
Menurut sebagian yang lain, saat KKR dibentuk, perdamaian juga akan berpotensi untuk terganggu. Bagi saya, keraguan semacam itu, lebih tersebabkan kurangnya sosialisasi mengenai esensi yang sebenarnya dari “proyek” KKR itu.
Masalah lain terkait dengan klausul di dalam UUPA sendiri. Dalam Pasal 229 ayat 1 diatur: Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Tetapi, pada ayat 2 diatur: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masalahnya, UU No. 27/2004 tentang KKR Nasional telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 setelah adanya judicial review terhadap UU tersebut. Ini kemudian menimbulkan ketidakpastian terhadap pembentukan KKR di Aceh melalui sebuah qanun.
Saya sendiri cenderung berpendapat pembentukan KKR Aceh tak harus menunggu lahirnya UU KKR Nasional yang baru, tersebabkan UUPA sudah dengan jelas menyebutkan bahwa KKR di Aceh dibentuk dengan UU tersebut. Secara teknis, ini kemudian (harus) bermuara pada pembentukan dan kemudian pengesahan Qanun KKR.
Intinya, bahwa KKR di Aceh tidak harus mati bersamaan dengan matinya UU tentang KKR itu. Jika pun ada pandangan yang mengaitkan dengan UU KKR Nasional, saya tetap beranggapan bahwa sebaiknya Qanun KKR disahkan saja, dan kemudian menunggu reaksi dari Kementerian Dalam Negeri terkait dengan penautan KKR Aceh dengan KKR Nasional di dalam UUPA.
Esensi KKR
KKR tak ada urusannya dengan soal balas dendam. KKR juga bukan suatu lembaga pengadilan untuk penghukuman. Keberadaan komisi itu harus dibaca dalam kerangka bagaimana suatu pemerintahan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa. Fokus KKR lebih kepada hak korban, yang susah didapatkan melalui Pengadilan HAM, termasuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
KKR akan membantu menyelesaikan masalah di masa lalu dengan kredibel dan penuh perhitungan. Keberadaan KKR juga dapat mendidik publik dan dapat meningkatkan kewaspadaan umum berkaitan dengan akibat pelanggaran HAM, dan membantu mencegah pengulangannya di masa depan.
KKR juga akan memberikan penilaian mengenai akibat pelanggaran HAM itu terhadap korban. Melalui KKR, kebenaran diharapkan dapat dikuakkan dengan cara yang adil dan transparan. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.
Setelah kebenaran dapat diungkapkan, maka KKR menjadi forum tempat mempertemukan ke dua belah pihak tersebut. Di sini, konsep “memaafkan” atau bahkan kemudian “melupakan” akan lebih diuji, dalam konteks rekonsialiasi. Dan bagian ketika dari KKR itu adalah membuat rekomendasi bagi program reparasi atau restitusi dan kompensasi yang menyeluruh bagi para korban.
Beberapa penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa KKR tidak semestinya dipandang sebagai suatu momok yang menakutkan. Alih-alih merusak perdamaian, KKR malah bagian terpenting dari proyek menjaga perdamaian itu sendiri. Berbagai negara yang pernah masuk dalam pusaran konflik pun, sudah membuat lembaga tersebut, dan sebagian besar cerita dari negara itu adalah cerita sukses.
Jadi, mari kita ingat masa lalu itu dalam konteks rekonsiliasi dan perhatian kepada korban, bukan kepada penghukuman. Melupakan masa lalu itu berbahaya, bahkan “mereka yang tak peduli dengan masa lalu, dihukum untuk mengulanginya.” Maka, datanglah KKR Aceh dan berikan berikan keadilan kepada para korban.
* Saifuddin Bantasyam, Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Sumber: aceh.tribunnews.com
Tidak ada komentar: