Event Pemerintah Aceh 2014

Reposisi Parnas dan Studi Parlok di Aceh, Mau Kemana?

Oleh Taufik Abdullah (Staf Pengajar Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh. Tulisan ini disarikan dari bahan diskusi (handout) pada sesi perkuliahan siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara di Lhokseumawe. Penulis juga aktif sebagai pemerhati dan pegiat gerakan sosial politik, demokrasi dan perdamaian Aceh).

 
Ilmuwan Barat seperti William Liddle, Herbert Feith, Harold Cruth dan banyak lainnya menjadi terkenal karena meneliti fenomena politik Indonesia. Mengapa? Karena demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia bergeser dari arasnya. Pemilu sebagai bagian dari demokrasi telah menyedot energi para ilmuwan untuk mengamati dan meneliti berbagai fenomena, terutama sistem kepartaian di Indonesia berkembang cukup dinamis (Thaha, 2004:VI).


Bagaimana tidak, di masa orde baru sistem kepartaian di kontrol ketat, dan ketika reformasi politik berlangsung dinamikanya semakin menantang. Jika di masa orde baru hanya tiga partai politik namun pasca reformasi partai politik tumbuh mekar bagai cendawan di musim hujan. Perubahan sistem kepartaian tentunya memberikan harapan disamping dihadang tantangan yang tidak mudah.  Barangkali yang menarik adalah di musim kampanye, baik Pileg (Pemilu Legislatif), Pilpres (Pemilu Presiden), Pilkada (Pemilu Kepala Daerah) dimana hampir semua lapisan masyarakat ikut arus pemilu.

Kita saksikan arus partai politik saling berjibaku sesama partai politik—bahkan arus partai politik harus berhadapan dengan arus non-partai (calon perseorangan) terutama pada kontestasi Pilkada, lalu arus kampanye dan akhirnya arus mencoblos—seolah tak kuasa menolaknya. Ritus demokrasi semacam itu tak ubahnya sebuah “pesta kawinan” di “gampong Aceh”. Tidak nampak “batang hidung” di pesta itu dianggap anti-sosial, bisa jadi diisolasi, dan sebagainya, dan sebagainya. Semaraknya semangat berdemokrasi mengalir deras sampai ke suprastruktur terkecil seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Bahkan di Aceh bertambah satu lagi yaitu Pilkum (Pemilihan Kepala Mukim).

Situasi ini sepertinya kontestasi pemilu membuat masyarakat terhipnotis-bahkan dibius, sehingga mau tak mau dengan sukarela memilih agar bisa dianggap warga negara yang patriotik, taat asas dan hukum. Disisi lain ada yang menentang dan menghujat ke sana-sini tanpa bisa memberi solusi. Mungkin inilah wujud stagnasi dan liberalisasi politik. Tak heran, kita akan seringkali kelabakan jika ditanyakan; partai politik dan pemilu untuk siapa?

Sistem Kepartaian
Sistem politik atau tatakrama demokrasi modern masih memandang partai politik sebagai formulasi ideal dan piranti berbangsa dan bernegara. Demokrasi tanpa partai politik nihilis. Melalui partai politik rakyat mempergunakan hak dan tanggungjawabnya menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai pemimpin (wakil rakyat). Melalui parlemen public policy dibuat kemudian mengontrol dan mengawasi eksekutif. Partai politik membimbing, membina, pemenuhan hak, partisipasi politik,  penyaluran aspirasi dan bertanggungjawab terciptanya kestabilan, hajat hidup dan pembangunan. Untuk mencapai itu, maka partai politik dan pemilu dinilai sebagai instrumen (alat) yang baik.

Pemenuhan hak rakyat seperti itu seyogyanya tercipta alternatif. Sebab itu, negara demokratik setidaknya memiliki dua partai politik atau lebih yang saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Menurut Sigmund Neuman dalam Meriam Budiarjo (2000:160-62) partai politik adalah organisasi yang menjadi alat dari aktivis-aktivis politik, berusaha dan berjuang mendapatkan kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Kompetisi dimungkinkan berlangsung oleh sistem yang mengatur tatakelola partai atau sistem kepartaian. Setidaknya dua sistem populer dikenal saat ini. Pertama, sistem integratif, yang dalam prakteknya bersifat sektarian, tertutup dan cenderung menjadi partai tunggal (dominasi). Kedua, sistem kompetitif, cenderung bersifat terbuka, fungsi-fungsinya terspesialisasikan dan memiliki dua partai atau lebih, disebut multi partai (Fiks, 2006:43). Sementara jika dilihat dari karakteristiknya, maka sistem partai politik di bagi tiga, yaitu sistem tunggal, sistem dwi-partai dan sistem multi-partai (Maurice, 1984:21).

Dulu, partai tunggal seperti di Uni Soviet dibentuk oleh sebab berbagai golongan, daerah atau suku bangsa yang berbeda corak sosialnya dan pandangan hidupnya sulit dikendalikan. Pluralisme sosial dan budaya dikhawatirkan melahirkan gejolak politik, menghambat integrasi politik dan pembangunan. Karena itu, otoritarianisme partai bukan hanya tunggal tetapi menganggap oposisi sebagai sebuah pengkhianatan. Bahkan, organisasi sipil harus bernaung dibawahnya sebagai pembimbing, pengerak, menekankan perpaduan dan kepentingan partai dengan masyarakat secara menyeluruh.

Adapun sistem dwi-partai dimaksudkan adanya dua partai atau beberapa partai—biasanya dengan peranan dominan dua partai. Partai pemenang pemilu bertanggungjawab sebagai penguasa. Sebaliknya bagi partai yang kalah menjalankan fungsinya sebagai oposisi. Pengalaman ini dapat dilihat di Inggris. Partai Konservatif, Buruh dan Liberal saling bersaing menjadi penguasa dan oposisi. Pemilu atau wakil-wakil yang dipilih berdasarkan sistem distrik, yang mengandalkan sigle-member constituency. Hal ini akan berlangsung sejauh social homogeinity, political consensus dan historical countinuity saling dijaga bersama.

Dalam sistem distrik pemilihan ditentukan berdasarkan distrik-distrik yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan (tersedia) di parlemen. Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik bersangkutan di parlemen. Calon yang terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak di distrik itu. Kelebihan suara tidak ditransfer untuk calon lain. Karena itu sistem yang dipilih mengutamakan si calon, bukan partai (Fiks, 2006:50).

Berbeda dengan sistem multi-partai, dimana alasan yang mendasar adalah keberagaman menjadi pendorong banyak partai untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primordial)—maka dianggap satu keniscayaan. Dalam sistem ini kekuasaan lebih bertumpu pada legislatif. Eksekutif lemah dan ragu-ragu apalagi tidak ada partai yang cukup kuat untuk membentuk “pemerintahan sendiri”. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilihan berimbang (proporsional refresentatif).

Sistem pemilihan ini dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan komposisi kursi dibagi berdasarkan kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan di daerah tersebut. Kursi dibagi berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Jika 1000 suara untuk satu kursi maka setiap partai memperoleh satu kursi jika mencapai jumlah tersebut. Bila suara untuk satu calon terpenuhi maka kelebihannya akan ditransfer pada urutan berikut dan seterusnya. Dalam sistem ini yang dipilih tanda gambar, bukan calon (Fiks, 2006:51).

Kita di Indonesia, India, Perancis dan Belanda menggunakan sistem ini. Koalisi partai atau pemerintahan koalisi sering terjadi. Namun dapat saja ditarik ketika kompromi atau kepentingan mencair. Menariknya, demokrasi yang berkembang pasca reformasi telah terciptanya ruang dan kebebasan politik. Liberalisasi dalam demokrasi kita ditandai tumbuh dan lahirnya partai politik cukup subur. Pada tahun 2004 sebanyak 50 Parpol ikut penyaringan namun hanya 24 Parpol lulus verifikasi dan ikut sebagai kontestan pemilu. Sumber KPU (2009) menjelaskan 34 Parpol lolos verifikasi ditambah 6  Parlok di Aceh. Menjelang Pemilu 2014 nanti diketahui ada 14 Parpol Baru akan diverifikasi—sejauh ini baru Parpol Nasdem dinyatakan lolos verifikasi.

Kita menganut sistem multi-partai dan pemilu sistem proporsional dimana kelemahan dan kebaikan dalam kedua sistem itu terus dibenahi secara periodik melalui aturan (perundang-undangan) pemilu. Undang-undang baru No. 2/2011 tentang Pemilu menjelaskan semua partai mesti ikut verifikasi, baik yang lolos “parlementary thereshold” maupun yang tidak lolos, serta partai yang belum pernah ikut pemilu. Disyaratkan Kepegurusan Parpol harus ada di 33 Propinsi, 75 % di Kab/Kota dan 50 % di Kecamatan. Biarpun kontestasi pemilu kita melalui sistem proporsional masih diperdebatkan namun itu masih cukup baik dan perlu kajian lebih mendalam menjawab seribu macam tantangan dan dinamika yang kita hadapi dalam berdemokrasi.

Hanya saja, ke depan, persoalan rekruitmen calon wakil rakyat, personalitas, kapasitas dan otoritas partai dalam menentukan calon menjadi persoalan penting.  Seorang wakil rakyat memang perlu dikenal luas oleh pemilih. Namun bukan saja dikenal tapi juga sudah mapan secara ekonomi sehingga tidak menjadi koruptor  dan lalai sebagai wakil rakyat. Hal ini krusial karena pemilih (konstituen) sepertinya tidak terikat dengan calon melainkan dengan dengan partai. Akibatnya wakil rakyat yang duduk di legislatif kurang responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama jika tidak sejalan dengan platform atau kebijakan partai.

Kemudian, perilaku “elit partai” dalam menentukan calon gubernur, bupati dan walikota serta pemilihan calon presiden masih menimbulkan kasuk-kasuk, kolusi dan maney politic. Tak heran, setelah Aceh memperkenalkan calon perseorangan (non-partai) menjadi alternatif di propinsi lain untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Mencuatnya calon non-partai dalam kontestasi Pilkada karena partai belum mampu mereposisi peran dan fungsinya dengan baik. Disamping itu tradisi demokrasi kita memposisikan “oposisi setengah hati”.

Butuh Oposisi Politik
Hal yang mengembirakan sebenarnya adalah pemilu presiden—dimana partai pemenang dapat mengusung calon presiden secara mandiri. Ironisnya, partai pemenang cenderung kurang percaya diri. Pemerintahan SBY-Bodieono semestinya tidak perlu berkoalisi karena Partai Demokrat memperoleh suara mayoritas. Sikap Partai Demokrat sepertinya diratapi sekarang—dimana koalisi yang dibentuk tidak bisa dipelihara kesetiaannya. Gonjang-ganjing rapuhnya koalisi disetrum hebat oleh media. Kasus Century, Kasus Pajak dan sekarang penolakan Kenaikan Harga BBM sebagai bukti koalisi tidak bisa diharap. Rapuhnya koalisi juga oleh perilaku elit demokrat yang tersandera kasus dan isu korupsi—sedang menyeruak.

Lalu, kita bertanya ada apa dengan koalisi? Setidaknya hal ini dipengaruhi, pertama liberalisasi politik pasca reformasi cenderung tidak stabil. Dampak liberalisasi meretasnya kesempatan dan peluang merebut sumberdaya-sumberdaya politik. Tantangannya terkait distribusi dan agregasi kepentingan tidak mampu menyebar luas dan terbatas—bisa berakibat munculnya antagonisme politik berkepanjangan. Tentu, wujudnya oposisi dikhawatirkan partai pemenang. Kedua, budaya politik kita masih prematur (belum mampuni). Ini karena partai yang kalah cenderung mencari posisi aman untuk merawat kepentingan karena politik kita masih high cost. Satu indikatornya kampanye tidak mungkin dilakukan tanpa sumber daya dan uang. Maka negara dirampok ramai-ramai.

Tradisi “money politic” masih rentan dan budaya politik kita belum mampuni secara kasat mata menjadi motif awal merengsek masuk koalisi baik saat mengusung kandidat presiden atau belakangan masuk koalisi demi eksistensi dan jatah beberapa menteri di kabinet. Sikap inklusif partai pemenang karena belum kesastria menjadi hero yang jantan dan santun. Masing-masing mencari posisi aman demi alasan kestabilan politik dan keberlanjutan pembangunan. Berbeda dengan rezim orde baru yang juga menganut sistem kompetitif sama halnya dengan rezim reformasi sekarang, namun rezim orde baru dalam prakteknya sangat integratif. Mengapa demikian?

Tentu, Soeharto belajar di masa orde lama—dimana Soekarno mengurus negara dengan banyak partai politik cukup rumit, termasuk adanya partai lokal diawal kemerdekaan Indonesia. Feith Herbert (1999) mencatat beberapa partai lokal saat itu dikenal partai kedaerahan atau kesukuan, diantaranya Partai Gerindo Yogyakarta, Partai AKUI Madura, Partai Rakyat Desa Jawa Barat, dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka Jawa Barat, Gerakan Pilihan Sunda (Jawa Barat), Partai Tani Indonesia (JawaBarat), Gerakan Banteng (Jawa Barat), Partai Persatuan Indonesia Raya (Lombok, Nusa Tenggara Barat)  dan Partai Persatuan Daya Kalimantan Barat.

Kekhawatiran Soekarno dan Soeharto beralasan. Isu nasionalisme saat itu belum tuntas. Karena itu, Soeharto tampil dengan manifesto demi mencegah disintegrasi. Lalu, membagun fusi partai dengan mengabungkan partai-partai yang terserak oleh latarbelakang historis, aliran, visi-misi, tujuan, program dan berbagai kepentingan yang ingin diperjuangkan, serta atas dasar ideologis digabungkan menjadi tiga partai, yaitu PPP, Golkar dan PDI. Masing-masing disimbiosiskan menjadi partai atau golongan sprituil, golongan karya dan golongan nasionalis yang menurut Soeharto bukan untuk melenyapkan partai melainkan untuk memperjelas indentitasnya (Ipong, 1997:90-95).

Menjustifikasi kehendaknya Soeharto tidak lain sebenarnya memenangkan kekuasaanya dengan sangat hegemonic. Ia memakai strategi ABG, yaitu ABRI (TNI), Birokrasi dan Golkar, yang kemudian dikemas dalam “trilogi pembangunan” yaitu mendasarkan pada perioritas pembangunan ekonomi, keamanan dan stabilitas politik. Sayangnya strategi ini dikendalikan sesuai selera rezim—dimana hegemoni kekuasaan merasuki berbagai strata, yang berujung terjadinya fragmentasi sosial, fragmentasi politik dan fragmentasi ekonomi. Persoalan etnis, agama, budaya, mobilitas penduduk, kesehatan, moralitas dan publik menyebabkan terjadinya fragmentasi sosial. Isu-isu pemberdayaan pemerintahan lokal atau demokrasi lokal, clean government terabaikan. Pola hegemoni kekuasaan seperti ini menyebabkan terjadinya fragmentasi politik.

Sementara fragmentasi ekonomi karena adanya ketimpangan pendapatan dan distribusi, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, serta monopoli usaha oleh segelintir  pihak. Akibat terlalu politis, dimana Golkar terlalu ketat meraih kemenangan, pendekatan keamanan tertutup dan refresif; militer sebagai katalisator, birokrasi sebagai instrumen kekuasaan, kemudian kebijakan publik tidak transparan, rendahnya implementasi HAM, lembaga peradilan kurang independen dan politik sentralisasi—menyebabkan munculnya gelombang protes atau gerakan reformasi, dimana gerakan mahasiswa dijadikan ujung tombak.

Mencuatnya gelombang reformasi karena hegemoni kekuasan rezim orde baru berlangsung lama dan politik oposisi tidak menjadi tradisi dalam berdemokrasi ketika itu. Pada hematnya demokrasi yang baik dimulai oleh adanya pengakuan dan penghargaan antara partai yang kalah dan partai yang menang lalu menjadikan oposisi sebagai satu keniscayaan. Ke depan, siapapun partai pemenang harus mampu tampil lebih berani, sehingga perkembangan demokrasi kita lebih terukur, dinamis  dan berdaya. Jadi, partai politik, pemilu dan kampanye yang berakhir dengan kemauan rakyat mencoblos (memilih) bukanlah sebuah arus yang semu.

Selebihnya demokrasi kita butuh oposisi, yang hanya memungkinkan dilakukan oleh partai kader namun berbasis massa, proyektif dan progresif serta gerakan sipil pro-demokrasi menjadi inovatornya. Partai kader berbasis massa maksudnya partai yang bukan hanya diisi oleh individu-individu yang cerdas tapi memiliki komitmen yang tinggi memperjuangkan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu mampu mensejahterakan rakyatnya. Disebut partai kader dimana anggota-anggotanya taat, memajukan organisasi dan berdisiplin tinggi. Pemimpin partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik dan karenanya sangat selektif dalam merekruet anggota-anggotanya. Tak heran anggota yang menyeleweng dari garis (ideologi partai) dipecat.

Sedangkan Partai Massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Bisa jadi ia didukung oleh berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Namun mudah terancam lemah bila pihak-pihak didalamnya memaksa kepentingan masing-masing dan jika memisahkan diri biasanya membuat partai baru. Gejala terakhir ini telah berlangsung dalam demokrasi kita dimana partai politik cukup mudah didirikan oleh siapapun. Sehingga kesannya transisi demokrasi Indonesia berhasil dipermukaan namun dalam makna sesungguhnya perlu reposisi monumental. Selebihnya, kita berharap Aceh menjadi pengalaman baru, dimana transisi demokrasi dan perdamaian Indonesia dibekas wilayah konflik ini  perlu ditegakkan dengan ketulusan.  Kearifan  dan  “demokrasi lokal” sedang tumbuh memenuhi hajat hidupnya sebagai sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

Urgensi Demokrasi Lokal
Sejak menggeliatnya agenda reformasi dalam banyak hal pemerintahan nasional telah merancang tatakelola pemerintahan daerah dengan konsep otonomi daerah. Agenda demokrasi lokal ini sangat krusial untuk membangun Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir dan batin. Berbeda dengan demokrasi lokal di Aceh bukan saja sekedar otonomi khusus tetapi direkatkan dengan sebuah instrumen politik—yaitu adanya partai politik lokal (parlok). Inilah pilihan pemerintahan nasional untuk Aceh, mengapa demikian?  Pemerintahan nasional dan masyarakat Aceh menyadari Aceh sebagai sebuah bangsa yang berdaulat atas kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya senantiasa siap menjadi oposisi. Gerakan pembebasan atau gerakan kemerdekaan yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun karena ada persoalan mendasar. Masyarakat Aceh berjuang demi identitasnya, menentang ketidakadilan, dipinggirkan dan dizalimi oleh rezim-rezim dalam rentang waktu yang cukup lama. 

Asal mula konflik Aceh sebagaimana digambarkan Antony Reid (2005), kemudian mosaik konflik Aceh; kepemimpinan, ideologi dan gerakan yang digambarkan Isa Sulaiman (2006), sampai imajinasi etno-nasionalisme sebagaimana digambarkan Taufan Damanik (2010) cukup beralasan mengapa Aceh beroposisi.  Dimulai dari Otto Syamsuddin (2001) dari maaf ke panik Aceh dan catatan-catatan yang terserak lahirnya ativisme pro-demokrasi sejak 1997-2005 cukup melengkapi oposisi Aceh dengan pemerintahan nasional. Gerakan sipil menjadi energi produktif mereduksi persoalan akibat konflik berkepanjangan dengan cara merekat jaringan laba-laba, yang kemudian cukup populis dikenal “gerakan referendum”. Somasi ini diputuskan dalam sebuah Kongres Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat Aceh Serantau (KOMPAS), yang meresolusi penyelesaian sengketa antara GAM dan Pemerintahan Nasional di Jakarta melalui jajak pendapat rakyat atau referendum dibawah pengawasan masyarakat Internasional.

Gerakan pembebasan dan gerakan sipil saat itu telah membuka warna Aceh di mata dunia. Sekian lama penderitaan Aceh akhirnya semakin terbuka ketika dihantam tsunami. Ini menjadi modal dan fakta sejarah yang mengemparkan dunia sehingga berbagai persoalan yang membelunggu beberapa dekade terburai dalam semangat baru. Perjanjian damai dibicarakan—yang berujung disepakatinya MoU Helsinki sebagai sebuah konsensus politik yang mengikat. Dalam konsensus ini Aceh dikukuhkan haknya mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dibawah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki dan UUPA mesti dijalankan seutuhnya.

Aceh bukan hanya berkesempatan mengatur dirinya sendiri tetapi secara signifikan dapat memperkuat otoritas dan identitas politiknya. Aceh perlu memaksimalkan pengembangan demokrasi lokal demi menjawab beban sejarah dan meneguhkan dirinya lebih kuat lagi sebagai kesejatian untuk Indonesia.  Kesejatian demokrasi lokal di Aceh melalui identitas politik lokal atau partai politik lokal (parlok) bertujuan mengukuhkan integrasi politik dalam semangat baru (neo-nasionalisme), yang saling percaya dan ihklas. dr. Zaini Abdullah mengatakan; karena Aceh Indonesia Ada”. UUPA 2006 harus menjadi perekat rasa ke-indonesia-an. Tidak ada Indonesia tanpa Aceh, tidak ada (Beuranda IV Maret 2012).

Membaca pikiran dr. Zaini Abdullah sebagai tokoh pendiri GAM dan perdamaian, maka tujuan partai lokal maupun partai nasional (parnas) di Aceh dapat disarikan, pertama memperjuangkan perdamaian, hajat hidup, harkat dan martabat rakyat Aceh. Kedua, mewujudkan stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Aceh. Ketiga, bertujuan agar Aceh mampu membangun khasanah; jati diri, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan; demokratisasi, kearifan lokal, sosial budaya dan identitas politik, kemandirian serta kemauan kuat dan berdaya dalam sejarah peradabannya.

Dengan demikian arah perkembangan demokrasi lokal dan keberadaan partai politik lokal di Aceh secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan dari pemerintahan nasional. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya, tanpa campur tangan  pemerintah pusat. Muhammad Djafar (2009:123) dalam proposal desertasinya mengatakan bahwa karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintahan pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut. Semoga saja bisa. Wallahu’aklam. 

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply