Gubernur Aceh terpilih dr Zaini Abdullah berbincang dengan tim Uni Eropa dan IOM seusai acara penutupan program Aceh Peace Process Support (APPS) di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Rabu (23/5). SERAMBI/BUDI FATRIA |
Uni Eropa (UE) segera mengakhiri misi di Aceh dalam bentuk program bantuan untuk pendampingan proses perdamaian pascatsunami dan penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.
Kepala Perwakilan UE di Aceh, Giovanni Serritella mengatakan, program Aceh Peace Program Support (APPS) akan berakhir secara resmi pada akhir Juni 2012. “Ini merupakan akhir dari dukungan UE terhadap proses perdamaian di Aceh,” kata Giovanni kepada wartawan seusai penutupan kegiatan APPS di Hotel Hermes Palace Banda Aceh, Rabu (23/5).
Seremoni penutupan program APPS turut dihadiri Sekretaris Daerah Aceh, Teuku Setiabudi, Amiruddin Usman (Head of PKK/Desk Aceh Menkopolhukam Representative), mantan Ketua Badan Reintegrasi Aceh Yusni Sabi, Gubernur terpilih Zaini Abdullah, perwakilan IOM, FFI, GIZ, anggota DPRA dan aktivis LSM, dan udangan lainnya.
Menurut Giovanni, meskipun program APPS untuk Aceh telah berakhir, namun UE masih tetap berada di Aceh untuk melanjutkan beberapa program dukungan lainnya terkait beberapa isu, antara lain ekonomi dan lingkungan.
“Kami menutup kantor, tapi kami akan melanjutkan dan terlibat aktif dalam beberapa program di Aceh, seperti di bidang ekonomi dan lingkungan,” katanya.
Disebutkan, untuk dukungan terhadap proses perdamaian, UE tidak lagi aktif dalam memantau. “Tapi kami masih terlibat dalam dialog. UE punya kekuatan politik di Aceh yang membantu Aceh mencapai perdamaian. Kami ingin melihat perdamaian dijaga dengan baik,” sebut Giovanni.
Menurutnya, salah satu alasan UE tidak lagi terlibat dalam proses pemantauan perdamaian Aceh dikarenakan proses perdamaian yang sudah berjalan tujuh tahun dinilai telah cukup memberi keyakinan bagi UE bahwa rakyat Aceh sudah mampu menjaga sendiri (perdamaian) tersebut.
“Masyarakat sudah siap berdiri di atas kaki mereka sendiri. Masyarakat sudah bisa menikmati damai. Kami harus memperlihatkan bahwa Aceh sudah damai dan masyarakat Aceh bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri,” katanya.
UE, lanjut Giovanni, telah membantu Aceh dengan dana 45 juta Euro untuk mendukung program perdamaian Aceh sejak 2005 serta 300 juta Euro untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
Ke depan UE akan fokus pada program yang terkait dengan isu kehutanan dan perubahan iklim. “Kita berharap dukungan terhadap program ini bisa berjalan pada tahun ini,” katanya.
Seperti diketahui, UE hadir di Aceh pascatsunami dan penandatangangan MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus 2005. UE mengirimkan puluhan pemantau perdamaian yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM).
Selain itu, UE juga mendanai program kerjasama International Organization for Migration (IOM) dengan kepolisian daerah Aceh dalam rangka reformasi dan peningkatan kapasitas personel kepolisian; misi Crisis Management Initiative (CMI) yang terlibat dalam memantau proses implementasi butir-butir kesepakatan damai; pembentukan penjaga hutan (ranger) melalui Fauna and Flora International (FFI); dan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih melalui GIZ (lembaga donor milik Jerman).
Kepala Perwakilan UE di Aceh, Giovanni Serritella mengatakan, program Aceh Peace Program Support (APPS) akan berakhir secara resmi pada akhir Juni 2012. “Ini merupakan akhir dari dukungan UE terhadap proses perdamaian di Aceh,” kata Giovanni kepada wartawan seusai penutupan kegiatan APPS di Hotel Hermes Palace Banda Aceh, Rabu (23/5).
Seremoni penutupan program APPS turut dihadiri Sekretaris Daerah Aceh, Teuku Setiabudi, Amiruddin Usman (Head of PKK/Desk Aceh Menkopolhukam Representative), mantan Ketua Badan Reintegrasi Aceh Yusni Sabi, Gubernur terpilih Zaini Abdullah, perwakilan IOM, FFI, GIZ, anggota DPRA dan aktivis LSM, dan udangan lainnya.
Menurut Giovanni, meskipun program APPS untuk Aceh telah berakhir, namun UE masih tetap berada di Aceh untuk melanjutkan beberapa program dukungan lainnya terkait beberapa isu, antara lain ekonomi dan lingkungan.
“Kami menutup kantor, tapi kami akan melanjutkan dan terlibat aktif dalam beberapa program di Aceh, seperti di bidang ekonomi dan lingkungan,” katanya.
Disebutkan, untuk dukungan terhadap proses perdamaian, UE tidak lagi aktif dalam memantau. “Tapi kami masih terlibat dalam dialog. UE punya kekuatan politik di Aceh yang membantu Aceh mencapai perdamaian. Kami ingin melihat perdamaian dijaga dengan baik,” sebut Giovanni.
Menurutnya, salah satu alasan UE tidak lagi terlibat dalam proses pemantauan perdamaian Aceh dikarenakan proses perdamaian yang sudah berjalan tujuh tahun dinilai telah cukup memberi keyakinan bagi UE bahwa rakyat Aceh sudah mampu menjaga sendiri (perdamaian) tersebut.
“Masyarakat sudah siap berdiri di atas kaki mereka sendiri. Masyarakat sudah bisa menikmati damai. Kami harus memperlihatkan bahwa Aceh sudah damai dan masyarakat Aceh bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri,” katanya.
UE, lanjut Giovanni, telah membantu Aceh dengan dana 45 juta Euro untuk mendukung program perdamaian Aceh sejak 2005 serta 300 juta Euro untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
Ke depan UE akan fokus pada program yang terkait dengan isu kehutanan dan perubahan iklim. “Kita berharap dukungan terhadap program ini bisa berjalan pada tahun ini,” katanya.
Seperti diketahui, UE hadir di Aceh pascatsunami dan penandatangangan MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus 2005. UE mengirimkan puluhan pemantau perdamaian yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM).
Selain itu, UE juga mendanai program kerjasama International Organization for Migration (IOM) dengan kepolisian daerah Aceh dalam rangka reformasi dan peningkatan kapasitas personel kepolisian; misi Crisis Management Initiative (CMI) yang terlibat dalam memantau proses implementasi butir-butir kesepakatan damai; pembentukan penjaga hutan (ranger) melalui Fauna and Flora International (FFI); dan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih melalui GIZ (lembaga donor milik Jerman).
Sumber: http:/aceh.tribunnews.com
Tidak ada komentar: