Kampanye Papua Mederka oleh Australia [Foto ROL]
|
Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua
(IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka
terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung
Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak
penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan
di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua
Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai
embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa
Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala
macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.
Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran
aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah
lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi
bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah
dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke
waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah
organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi
dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja
tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan
ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.
Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan
perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi
dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun
manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan
“The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka
sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis
kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa
sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan
memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani
itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga
sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib
manusia.
Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”,
“bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang
bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan
“rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di
Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan
dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum.
Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan
semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu
sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun
penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung
demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.
Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di
dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua
Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai
NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua
selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa
masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969,
biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan
Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja
diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan
kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk
memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan
tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam
penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia,
di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa.
Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu
berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka
PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak
bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang
harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia
dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab,
berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan
dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat
menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.
ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan
perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada
pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal
hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi
ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti
aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip
demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam
berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.
Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan
kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan
mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal
serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta
negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan
bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan
sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung
Papua Merdeka.
Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran
aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap
masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk
merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan
membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun
berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN
pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan
dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga
berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya
di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah
dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil
dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab
sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan
nasionalis membabi-buta.
IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka,
tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di
negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan
expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi
perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan
pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang
memanipulasi sejarah.
Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa
politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia
dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas
kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan
proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar
modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan
demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah
mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa
Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di
Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat
dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik,
nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara
mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang
KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan
sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya
untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan
Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di
manapun dan bagaimanapun juga.
Editor: Safrizal
Sumber: papuapost.com
Tidak ada komentar: