Bentuk gagang pedang daun tebu yang terbuat dari perak dengan motif anyaman, sedangkan penjepit dan penahan serta tampok pedang dilapisi emas. |
Oleh: H Harun Keuchik Leumiek.
RENCONG adalah salah satu jenis senjata tajam yang sangat dikenal di
Aceh. Ketika orang menyebut rencong, sudah pasti asumsinya adalah Aceh.
Begitu identiknya Aceh dengan rencong, sehingga orang sering menyebut
Aceh dengan nama "Tanah Rencong".
Meskipun rencong sudah
menjadi simbol kedaerahan Aceh, namun jenis senjata tajam di Aceh
sebenarnya masih banyak. Malahan ada jenis senjata tajam yang hampir
mirip rencong. Namanya siwah yang bentuknya lebih istimewa dari rencong.
Keistimewaan siwah ini tidak hanya dalam bentuk wujudnya—seperti
gagangnya yang terkadang terbuat dari emas dan suasa dengan motif-motif
nan indah—tapi juga adalah simbol senjata tajam kebesaran orang Aceh.
Sehingga, siwah ini kebanyakan dipakai oleh bangsawan di Aceh.
Selain rencong dan siwah, di Aceh juga banyak jenis senjata tajam dalam bentuk pedang, termasuk jenisnya. Mungkin ada sekitar 10 jenis pedang yang sangat terkenal di Aceh. Namun, di sini hanya akan diuraikan beberapa jenis pedang yang terkenal di Aceh, baik bentuk, kegunaan dan cara memakainya. Pedang-pedang itu sendiri kini sudah langka.
Salah satu jenis pedang sangat terkenal di Aceh adalah Peudeung On Teubee (pedang daun tebu). Dinamakan demikian karena bentuk mata pedang ini mirip daun tebu, yaitu tipis dan panjang. Pedang ini sangat ampuh dipergunakan saat perang melawan kompeni pada abad-abad lalu di Aceh. Mata pedang ini panjangnya rata-rata mencapai satu meter. Matanya sangat tajam dan ujungnya runcing.
Yang menarik dari bentuk pedang ini adalah gagangnya. Pada gagang pedang ini ada pelindung tangan yang terbungkus besi baja. Di kedua sisi pangkal matanya terdapat besi penjepit yang panjangnya sekitar 10 cm, bersenyawa dengan pangkal gagang. Penjepit yang ada pada pangkal gagang berguna untuk mematahkan pedang musuh jika pedang musuh masuk ke Penjepit ini, atau juga untuk menahan pergerakan pedang lawan.
Pedang daun tebu ini juga dihiasi dengan tampok (gagang) di ujung gagangnya seperti tampok kupiah meuketop (mahkota). Gagang ini berbentuk bintang tiga lapis, tapi lebih kecil dari tampok kupiah karena harus disesuaikan dengan gagang pedang. Biasanya gagang ini terbuat dari emas atau perak yang diukir dan dihiasi permata. Begitu pula pada penahan (pelindung) tangan, juga dilapisi emas atau perak yang diukir dengan motif-motif khas Aceh yang indah. Di ujung gagang, terdapat besi bulat yang dibungkus emas dalam bentuk runcing. Gunanya, bila tiba-tiba ada musuh dari belakang bisa dtusuk tanpa harus memutar badan.
Dua sebutan
Pedang ini memiliki dua sebutan, yaitu Peudeung On Teubee dan Peudeung On Jok (pedang daun enau). Bentuk kedua pedang tersebut sama dan hampir tidak ada beda. Perbedaannya hanya pada mata pedangnya. Kalau pedang daun tebu matanya agak tipis dan fleksibel, sedangkan mata pedang daun enau sedikit tebal dan kaku. Lainnya sama saja.
Biasanya pada kedua pedang tersebut terdapat alur yang memanjang dari pangkal mata sampai ke ujung mata, yang disebut kurok. Kebanyakan pedang daun tebu maupun pedang daun enau memiliki satu kurok, tetapi ada juga yang dua atau tiga. Kalau yang tiga alur sangat langka. Sebab saat membuat alur apalagi sampai tiga amat sukar dan sulit, serta memerlukan waktu cukup lama.
Mengenai kurok pedang ini, ada ungkapan orang Aceh yang berbunyi:
Di Kampong Rawa na rusa jampok
Peudeung lhee kurok di ateh bara
Meunyo mantong peudeung lhee kurok
Nanggroe han ku jok keu gata Belanda
Artinya:
Di Kampong Rawa ada rusa jampok (burung hantu)
Pedang tiga kurok di atas bara (bara tempat menyimpan benda-benda berharga di rumah Aceh)
Kalau masih ada pedang tiga kurok
Negeri tidak akan kuserahkan kepada Belanda
Kemudian ada tambahan:
Meunyo ka patah peudeung lhee kurok
Nyan baro lon jok nanggroe keu gata
Artinya:
Jika sudah patah pedang tiga kurok
Baru kuberikan negeri kepada Anda (Belanda)
Dari Turki
Ada lagi keunikan pedang daun tebu ini. Menurut cerita, pada zaman perang dulu, pedang ini ada yang bisa dililitkan di pinggang. Benar tidaknya cerita itu kita tidak tahu. Tapi yang pasti, pedang ini sangat ampuh.
Dari bentuknya, pedang daun tebu yang terdapat di Aceh hampir sama dengan bentuk pedang yang terdapat di beberapa negara Timur Tengah.
Konon, pedang daun tebu yang ada di Aceh adalah hasil para perajin dari Turki yang dibawa ke Aceh pada Abad XVI. Saat itu kerajaan Aceh meminta bantuan Kerajaan Turki untuk melatih perajin-perajin Aceh dalam bidang keterampilan pembuatan senjata, baik senjata tajam perang seperti pedang maupun senjata artileri seperti meriam dan alat-alat perang lainnya, serta melatih angkatan perang Aceh kala itu.
Dalam sejarah memang kita temukan bukti adanya hubungan akrab Kerajaan Aceh dengan Kesultanan Turki yang sudah terjalin sejak awal Abad XV. Malah, Kerajaan Aceh pernah mengirimkan hadiah kepada Sultan Turki berupa hasil bumi Aceh sebanyak enam kapal terdiri terdiri dua kapal lada, dua kapal padi, dan dua kapal pinang.
Yang membawa hadiah itu ke Turki adalah Panglima Nyak Dum. Namun akibat lamanya pelayaran kala itu, hadiah tersebut habis dijual di jalan. Sampai ke Turki, dari rencana dua kapal lada yang akan dihadiahkan kepada Sultan Turki, hanya tersisa secupak. Setelah mendengar penjelasan dari Panglima Nyak Dum, Sultan Turki dengan senang hati menerimanya.
Setelah lebih kurang tiga bulan utusan kerajaan Aceh menjadi tamu di Kesultanan Turki, mereka pulang dengan membawa hadiah balasan dari Sultan Turki. Di antara hadiah itu selain alat-alat perang seperti meriam, yang kemudian setelah sampai di Aceh dinamai "Meriam Lada Sicupak", Sultan Turki juga mengirimkan 40 tenaga ahli teknologi Turki untuk membantu Aceh membuat berbagai keperluan perkakas perang di Aceh, dan melatih tentara-tentara Aceh dalam menghadapi berbagai serangan asing. Semua tenaga ahli (perajin) dari Turki itu sesampai di Aceh ditempatkan di suatu desa yang kemudian desa itu bernama Empe Room yang kini berlokasi di Desa Bitai, Banda Aceh.
Dengan demikian pedang daun tebu dan pedang daun enau yang terdapat di Aceh, dilihat dari bentuknya yang tak jauh beda dengan bentuk pedang-pedang yang terdapat di negara-negara Islam Timur Tengah, dapat diyakini bahwa kedua jenis pedang ini adalah hasil dari perajin Turki yang diajarkan kepada perajin Aceh.
Pada gagang pedang daun tebu, tepatnya pada pegangannya, terdapat bentuk anyaman yang terbuat dari perak yang indah. Anyaman ini dirangkai dengan kawat halus yang pipih dan dilekatkan bersatu pada gagang hingga anyaman kelihatan sangat indah dan mengandung seni yang tinggi.
Tapi pedang ini sudah sangat langka dijumpai. Boleh dikatakan, produksi pedang beranyaman gagang perak seperti itu sudah terhenti sejak 100 tahun lalu. Ini karena untuk membuat anyaman perak ini dibutuhkan keahlian tersendiri yang tak dapat dikerjakan oleh sembarangan perajin. Tidak semua tukang bisa mengerjakannya.
Sekarang, dalam koleksi penulis terdapat puluhan pedang daun tebu. Dari jumlah itu, hanya dua bilah yang memiliki anyaman perak pada gagangnya. Begitu juga, penulis hanya memiliki dua bilah pedang tiga kurok. Sedangkan pedang tiga kurok yang memiliki anyaman dan tampok pada gagangnya sudah sangat langka. Karena, rata-rata pedang ini telah berusia lebih dari 200 tahun. Sarung pedang ini kebanyakan terbuat dari kayu. Kalaupun kita masih bisa mendapatkan satu-dua bilah di masyarakat, namun tanpa sarung.
Pada 1960-an hingga 1970-an, ada dua utoh (perajin) pedang yang terkenal dari Desa Rantau Panyang Aceh Barat, yaitu H Mansur RP dan saudaranya, Pakeh. Keduanya kemudian menetap di Meulaboh. Mereka berdua adalah ahli membuat sarung peudeung on eubee, tampok pedang dan ahli membuat rencong dan siwah dari emas dan perak dengan ukiran sangat halus dan indah.
Sampai berusia 70-an, mereka masih tekun sebagai perajin pedang, rencong dan siwah yang sangat terkenal di Aceh. Tapi setelah keduanya meninggal, hampir tidak ditemukan lagi perajin pedang, rencong serta siwah yang memiliki nilai seni seperti zaman dulu. [www.analisadaily.com]
Selain rencong dan siwah, di Aceh juga banyak jenis senjata tajam dalam bentuk pedang, termasuk jenisnya. Mungkin ada sekitar 10 jenis pedang yang sangat terkenal di Aceh. Namun, di sini hanya akan diuraikan beberapa jenis pedang yang terkenal di Aceh, baik bentuk, kegunaan dan cara memakainya. Pedang-pedang itu sendiri kini sudah langka.
Salah satu jenis pedang sangat terkenal di Aceh adalah Peudeung On Teubee (pedang daun tebu). Dinamakan demikian karena bentuk mata pedang ini mirip daun tebu, yaitu tipis dan panjang. Pedang ini sangat ampuh dipergunakan saat perang melawan kompeni pada abad-abad lalu di Aceh. Mata pedang ini panjangnya rata-rata mencapai satu meter. Matanya sangat tajam dan ujungnya runcing.
Yang menarik dari bentuk pedang ini adalah gagangnya. Pada gagang pedang ini ada pelindung tangan yang terbungkus besi baja. Di kedua sisi pangkal matanya terdapat besi penjepit yang panjangnya sekitar 10 cm, bersenyawa dengan pangkal gagang. Penjepit yang ada pada pangkal gagang berguna untuk mematahkan pedang musuh jika pedang musuh masuk ke Penjepit ini, atau juga untuk menahan pergerakan pedang lawan.
Pedang daun tebu ini juga dihiasi dengan tampok (gagang) di ujung gagangnya seperti tampok kupiah meuketop (mahkota). Gagang ini berbentuk bintang tiga lapis, tapi lebih kecil dari tampok kupiah karena harus disesuaikan dengan gagang pedang. Biasanya gagang ini terbuat dari emas atau perak yang diukir dan dihiasi permata. Begitu pula pada penahan (pelindung) tangan, juga dilapisi emas atau perak yang diukir dengan motif-motif khas Aceh yang indah. Di ujung gagang, terdapat besi bulat yang dibungkus emas dalam bentuk runcing. Gunanya, bila tiba-tiba ada musuh dari belakang bisa dtusuk tanpa harus memutar badan.
Dua sebutan
Pedang ini memiliki dua sebutan, yaitu Peudeung On Teubee dan Peudeung On Jok (pedang daun enau). Bentuk kedua pedang tersebut sama dan hampir tidak ada beda. Perbedaannya hanya pada mata pedangnya. Kalau pedang daun tebu matanya agak tipis dan fleksibel, sedangkan mata pedang daun enau sedikit tebal dan kaku. Lainnya sama saja.
Biasanya pada kedua pedang tersebut terdapat alur yang memanjang dari pangkal mata sampai ke ujung mata, yang disebut kurok. Kebanyakan pedang daun tebu maupun pedang daun enau memiliki satu kurok, tetapi ada juga yang dua atau tiga. Kalau yang tiga alur sangat langka. Sebab saat membuat alur apalagi sampai tiga amat sukar dan sulit, serta memerlukan waktu cukup lama.
Mengenai kurok pedang ini, ada ungkapan orang Aceh yang berbunyi:
Di Kampong Rawa na rusa jampok
Peudeung lhee kurok di ateh bara
Meunyo mantong peudeung lhee kurok
Nanggroe han ku jok keu gata Belanda
Artinya:
Di Kampong Rawa ada rusa jampok (burung hantu)
Pedang tiga kurok di atas bara (bara tempat menyimpan benda-benda berharga di rumah Aceh)
Kalau masih ada pedang tiga kurok
Negeri tidak akan kuserahkan kepada Belanda
Kemudian ada tambahan:
Meunyo ka patah peudeung lhee kurok
Nyan baro lon jok nanggroe keu gata
Artinya:
Jika sudah patah pedang tiga kurok
Baru kuberikan negeri kepada Anda (Belanda)
Dari Turki
Ada lagi keunikan pedang daun tebu ini. Menurut cerita, pada zaman perang dulu, pedang ini ada yang bisa dililitkan di pinggang. Benar tidaknya cerita itu kita tidak tahu. Tapi yang pasti, pedang ini sangat ampuh.
Dari bentuknya, pedang daun tebu yang terdapat di Aceh hampir sama dengan bentuk pedang yang terdapat di beberapa negara Timur Tengah.
Konon, pedang daun tebu yang ada di Aceh adalah hasil para perajin dari Turki yang dibawa ke Aceh pada Abad XVI. Saat itu kerajaan Aceh meminta bantuan Kerajaan Turki untuk melatih perajin-perajin Aceh dalam bidang keterampilan pembuatan senjata, baik senjata tajam perang seperti pedang maupun senjata artileri seperti meriam dan alat-alat perang lainnya, serta melatih angkatan perang Aceh kala itu.
Dalam sejarah memang kita temukan bukti adanya hubungan akrab Kerajaan Aceh dengan Kesultanan Turki yang sudah terjalin sejak awal Abad XV. Malah, Kerajaan Aceh pernah mengirimkan hadiah kepada Sultan Turki berupa hasil bumi Aceh sebanyak enam kapal terdiri terdiri dua kapal lada, dua kapal padi, dan dua kapal pinang.
Yang membawa hadiah itu ke Turki adalah Panglima Nyak Dum. Namun akibat lamanya pelayaran kala itu, hadiah tersebut habis dijual di jalan. Sampai ke Turki, dari rencana dua kapal lada yang akan dihadiahkan kepada Sultan Turki, hanya tersisa secupak. Setelah mendengar penjelasan dari Panglima Nyak Dum, Sultan Turki dengan senang hati menerimanya.
Setelah lebih kurang tiga bulan utusan kerajaan Aceh menjadi tamu di Kesultanan Turki, mereka pulang dengan membawa hadiah balasan dari Sultan Turki. Di antara hadiah itu selain alat-alat perang seperti meriam, yang kemudian setelah sampai di Aceh dinamai "Meriam Lada Sicupak", Sultan Turki juga mengirimkan 40 tenaga ahli teknologi Turki untuk membantu Aceh membuat berbagai keperluan perkakas perang di Aceh, dan melatih tentara-tentara Aceh dalam menghadapi berbagai serangan asing. Semua tenaga ahli (perajin) dari Turki itu sesampai di Aceh ditempatkan di suatu desa yang kemudian desa itu bernama Empe Room yang kini berlokasi di Desa Bitai, Banda Aceh.
Dengan demikian pedang daun tebu dan pedang daun enau yang terdapat di Aceh, dilihat dari bentuknya yang tak jauh beda dengan bentuk pedang-pedang yang terdapat di negara-negara Islam Timur Tengah, dapat diyakini bahwa kedua jenis pedang ini adalah hasil dari perajin Turki yang diajarkan kepada perajin Aceh.
Pada gagang pedang daun tebu, tepatnya pada pegangannya, terdapat bentuk anyaman yang terbuat dari perak yang indah. Anyaman ini dirangkai dengan kawat halus yang pipih dan dilekatkan bersatu pada gagang hingga anyaman kelihatan sangat indah dan mengandung seni yang tinggi.
Tapi pedang ini sudah sangat langka dijumpai. Boleh dikatakan, produksi pedang beranyaman gagang perak seperti itu sudah terhenti sejak 100 tahun lalu. Ini karena untuk membuat anyaman perak ini dibutuhkan keahlian tersendiri yang tak dapat dikerjakan oleh sembarangan perajin. Tidak semua tukang bisa mengerjakannya.
Sekarang, dalam koleksi penulis terdapat puluhan pedang daun tebu. Dari jumlah itu, hanya dua bilah yang memiliki anyaman perak pada gagangnya. Begitu juga, penulis hanya memiliki dua bilah pedang tiga kurok. Sedangkan pedang tiga kurok yang memiliki anyaman dan tampok pada gagangnya sudah sangat langka. Karena, rata-rata pedang ini telah berusia lebih dari 200 tahun. Sarung pedang ini kebanyakan terbuat dari kayu. Kalaupun kita masih bisa mendapatkan satu-dua bilah di masyarakat, namun tanpa sarung.
Pada 1960-an hingga 1970-an, ada dua utoh (perajin) pedang yang terkenal dari Desa Rantau Panyang Aceh Barat, yaitu H Mansur RP dan saudaranya, Pakeh. Keduanya kemudian menetap di Meulaboh. Mereka berdua adalah ahli membuat sarung peudeung on eubee, tampok pedang dan ahli membuat rencong dan siwah dari emas dan perak dengan ukiran sangat halus dan indah.
Sampai berusia 70-an, mereka masih tekun sebagai perajin pedang, rencong dan siwah yang sangat terkenal di Aceh. Tapi setelah keduanya meninggal, hampir tidak ditemukan lagi perajin pedang, rencong serta siwah yang memiliki nilai seni seperti zaman dulu. [www.analisadaily.com]
Tidak ada komentar: