a. Konsideran
menimbang huruf a dan huruf c qanun dimaksud yang terkait dengan (MoU Between
The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15
Agustus 2005), tak perlu dimuat, karena substansi MoU telah diwujudkan ke dalam
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam Qanun Wali Nanggroe tertulis
bahwa:
huruf a (bahwa berdasarkan Pasal 18B Undang-Undang Dasar
1945 bahwa kedudukan dan keberadaan Pemerintah Aceh sebagai daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang, tetap
diakui dan dihormati secara hokum)
huruf c
(bahwa kerajaan Aceh telah mempunyai wilayah, pemerintahan dan penduduk sebelum
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah
berperan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia)
jadi menurut menagri bahwa huruf a dan c tak perlu dimuat dalam Qanun Wali Nanggroe.
b. Dasar hukum
mengingat angka 1 qanun dimaksud agar mencantumkan Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai dasar
kewenangan Pemerintahan Aceh untuk membentuk qanun.
Dalam
Qanun Wali Nanggroe tertulis bahwa angka 1 dengan bunyi “Undang-Undang Dasar tahun
1945”.
Jadi dalam angka 1 tersebut agar mencantumkan
Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai
dasar kewenangan Pemerintahan Aceh untuk membentuk qanun.
c. Pasal 1 angka
4 qanun dimaksud agar dihapus dan disesuaikan dengan Pasal 1 angka 17 UUPA yang
menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”.
Bunyi pasal 1 angkat 4 dalam Qanun
Wali Nanggroe yaitu
“Lembaga Wali Nanggroe adalah Lembaga
kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan
berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat,
adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat
lainnya”.
Jadi bunyi pasal tersebut diganti dan
dicantumkan dengan Pasal 1
angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga
Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan
pelestarian kehidupan adat dan budaya”.
d. Pasal 1 angka
11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, dan angka 19 qanun dimaksud agar dihapus karena:
1)
Tidak
diamanatkan pembentukannya oleh UUPA.
2) bertentangan
dan duplikasi tugas dan fungsi dengan Lembaga Adat sebagaimana diatur dalam
Pasal 98 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA.
Ini bunyi Pasal 1 angka 11, 12, 13,
14, 15, 16, 18, dan angka 19 dalam Qanun Wali Nanggroe:
Pasal 1: Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
Angka 11 (Waliul’ahdi adalah pemangku Wali Nanggroe
atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe mengerjakan
pekerjaan Wali Nanggroe ketika Wali Nanggroe berhalangan tetap)
Angka 12 (Mufti adalah
orang yang memutuskan hukum agama dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai
dengan mahzab Syafii sebagai mahzab mayoritas juga mengakui tiga mahzab lainnya
yang ahlusunnah waljamaah)
Angka 13 (Majelis Tuha
Peuet adalah majelis tertinggi di bawah lembaga Wali Nanggroe terdiri dari 30
persen mewakili Ulama, 30 persen mewakili ex. Pemerintahan, ex. anggota DPRA,
ex. Pejabat Tinggi Negara asal Aceh, 30 persen dari perwakilan pelaku sejarah
dan 10 persen dari perwakilan saudagar Aceh)
Angka 14 (Majelis Tuha
Lapan adalah perwakilan dari wilayah-wilayah sesuai dengan tradisi sejarah
perjuangan rakyat Aceh yang mengusulkan pendapat-pendapat dari wilayahnya untuk
dapat dijadikan bahan masukan atau menerima arahan dari pada Majelis Tuha
Peuet)
Angka 15 (Arakata atau
Katibul Muluk adalah sekretaris pada kesekretariatan Lembaga Wali Nanggroe)
Angka 16 (Reusam adalah
keselamatan dan ketertiban serta kenyamanan dengan segala perangkat sistem
pengawalan terhadap Lembaga Wali nanggroë yang terdiri dari reusam syar’i
(protokoler tetap), reusam aridh (protokoler yang diadopsi), reusam daruri
(penting), reusam nafsi (reusam itu sendiri), reusam nazari (reusam yang
ditetapkan), reusam uruf (reusam yang berlaku), reusam ma’ruf (reusam yang dibiasakan),
reusam muqabalah (reusam timbal balik), reusam mu’amalah (reusam pergaulan
sehari-hari), reusam ijma’ mahkamah jam’iyah (reusam yang disepakati bersama
oleh majelis Tuha Peuet dan Tuha Lapan)
Angka 17 (Majelis
perempuan adalah keindahan yang terjadi karena adanya permasalahan yang timbul
dalam hal membuat satu keputusan untuk mengangkat derajat perempuan yang
terbagi atas qanun syar’i (mengatur hak-hak perempuan), qanun aridh (hak-hak
perempuan yang datang dari luar), qanun daruri (hak-hak perempuan yang penting),
qanun nafsi (hak-hak perempuan yang ada pada jati dirinya), qanun nazari
(hak-hak perempuan memberikan pendapat), qanun uruf (hak-hak kebiasaan
perempuan sehari-hari), qanun ma’ruf (hak-hak perempuan yang sudah dibiasakan),
qanun muqabalah (hak dan kewajiban perempuan), qanun mu’amalah (hak perempuan
dalam pergaulan sehari-hari), qanun ijma’ mahkamah jam’iyah (hak perempuan yang
diberikan khusus oleh Tuha Peuet dan Tuha Lapan)
Angka 18 (Majelis Mukim adalah himpunan masyarakat hukum adat yang
terdiri dari kumpulan beberapa gampong yang bertugas mengusulkan pendapat dari
mukim-mukim dan atau menerima arahan dari keputusan Majelis Tuha Peuet).
e. Pasal 4 agar
dihapus, dan disesuaikan dengan:
1) Pasal 96 ayat (1) UUPA yang menyebutkan
“Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat
yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan
upacara-upacara adat lainnya”.
2) Pasal
96 ayat (2) UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di
Aceh”.
Bunyi Pasal 4 dalam Qanun Wali
Nanggroe adalah:
Angka 1 (Dengan Qanun
ini dibentuk Lembaga Wali Nanggroe)
Angka 2 (Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mempunyai status sebagai Lembaga kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan
mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa
dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya)
f. Pasal
5 sampai dengan Pasal 16 qanun dimaksud agar dihapus, karena duplikasi tugas
dan fungsi dengan Lembaga Adat sebagaimana diatur dalam pasal 98 ayat (1), (2),
dan ayat (3) UUPA.
Bunyi
Pasal 5 sampai dengan Pasal 16 dalam Qanun Wali Nanggroe yaitu:
Pasal 5 (Lembaga Wali nanggroe berkedudukan di Ibu Kota Aceh)
Pasal 6 (Laqab atau gelar atau panggilan terhadap Wali Nanggroe
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
huruf a adalah “Paduka Yang Mulia, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe, Paduka Sri Wali Nanggroe, Duli yang Mulia Wali Nanggroe, Sri Paduka Wali Naggroe)
Pasal 7 (Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
memiliki hak:
a. imunitas; b. protokoler; c. keuangan; dan d.
meminta pendapat)
Pasal 8 meliputi ayat (1) Susunan Kelembagaan Wali Nanggroe, terdiri dari: a. Wali Nanggroe; b. Waliul’ahdi/Pemangku Wali Nanggroe; c. Keurukon Katibul Wali (Sekretariat); d. Majelis Tuha Peuet; e. Mufti (Lembaga Majelis Fatwa); f. Majelis Tuha Lapan; g. Majelis Mukim; h.
Majelis Perempuan;
i. Reusam; j. Majelis Ulama Aceh/Majelis Ulama Nanggroe Aceh; k. Majelis Adat Aceh; l. Majelis Pendidikan Aceh; m. Majelis Kebudayaan, Kesenian dan Olahraga; n. Majelis Kerjasama Ekonomi; o. Majelis Keujruen Blang/Majelis Pertanian; p. Majelis Laot; q. Majelis Syahbandar; r. Majelis Ulayat; s.
Majelis Haria Peukan;
t. Majelis Purbakala, Warisan Budaya
dan Permeseuman;
u. Majelis Penelitian dan
Pengembangan;
v. Majelis Kesejahteraan Sosial dan
Kesehatan;
w. Majelis Khazanah/Warisan Kekayaan
Aceh;
x. Majelis Anti Rasuah (Anti korupsi); y. Majelis Purbakala/Warisan Budaya; z. Majelis Audit Independen; å. Majelis Pertimbangan; ä. Majelis Hutan
Aceh;
ö.
Bahagian Perbendaharaan; dan aa.Majelis atau badan lainnya yang disesuaikan dengan keperluan) dan Ayat (2) “Susunan Organisasi dan
Tata Kerja perangkat Kelembagaan Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan/Sarakata Wali Nanggroe”.
Pasal 9 meliputi ayat (1) dengan bunyi
“Organisasi Kelembagaan Wali Nanggroe
terdiri dari tiga bentuk: a. Fungsional; b. Struktural. c. Reusam”, ayat (2) Fungsional sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Majelis Tuha Peuet; b. Mufti (Majelis
Fatwa); c. Majelis Tuha Lapan; d. Majelis Mukim; dan e. Majelis
Perempuan/Majelis Ureueng Inong/Majelis saton. f. Majelis Ulama Aceh/Majelis
Ulama Nanggroe Aceh; g. Majelis Adat Aceh; h. Majelis Pendidikan Aceh; i.
Majelis Kebudayaan, Kesenian dan Olahraga; j. Majelis Kerjasama Ekonomi; k.
Majelis Keujruen Blang; l. Majelis Penelitian dan Pengembangan; m. Majelis
Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan; n. Majelis Khazanah; o. Majelis Anti Rasuah
(Anti korupsi); p. Majelis Audit Independen; q. Majelis Pertimbangan; r.
Majelis Hutan Aceh; s. Majelis Laot; t. Majelis Syahbandar; u. Majelis Ulayat; v.
Majelis Haria Peukan; w. Majelis Purbakala, Warisan Budaya dan Permeseuman; x.
Bahagian Perbendaharaan; dan y. Majelis atau Badan lainnya yang diseuaikan
dengan keperluan dan fungsi kepemimpinan adat, ayat (3) Struktural sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf
b, terdiri dari Kereukon Katibul Wali (Sekretariat).
Pasal 10 melipti ayat (1) Fungsional dan struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf a dan huruf b, dipimpin oleh Waliul’ahdi. Dan pasal (2) Reusam sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat ayat (1)
huruf c, dipimpin oleh Ulee Bentara.
Pasal 11 (Lembaga Wali Nanggroe mempunyai tugas:a. membentuk
perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan segala upacara adat dan gelarnya; b.
mengangkat, menetapkan dan meresmikan serta memberhentikan personil perangkat
Lembaga Wali Nanggroe; c. meresmikan/mengukuhkan/bai’at/menta’arufkan Parlemen
Aceh dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat istiadat; d. memberi gelar
kehormatan kepada seseorang atau lembaga; e. mengurus khazanah Aceh di luar
Aceh; f. melakukan kunjungan dalam rangka kerjasama dengan pihak manapun untuk kemajuan
dan kepentingan adat rakyat Aceh; dan g. ikut serta menyediakan sumberdaya
manusia yang cakap dalam lingkungan kehidupan masyarakat Aceh yang mampu
menjalankan fungsi-fungsi public serta melestarikan dan mengembangkan budaya
dan adat istiadat disesuaikan dengan bidangnya).
Pasal 12 (Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi: a. perumusan dan penetapan
kebijakan penyelenggaraan kehidupan lembagalembaga adat, adat istiadat, dan
pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. b. penyiapan rakyat
Aceh dalam pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan sebagaimana ditentukan dalam
qanun ini; dan c. Perlindungan secara adat semua orang Aceh baik di dalam
maupun di luar Aceh).
Pasal 13 (Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Lembaga Wali Nanggroe mempunyai kewenangan: a. memberikan gelar kehormatan
kepada seseorang atau badan yang diberikan dengan nama-nama yang akan
ditentukan kemudian berdasarkan tradisi sejarah, bahasa dan adat istiadat rakyat
Aceh; b. menjalankan kewenangan kepemimpinan adat yang berwibawa dan bermartabat
dalam tatanan kehidupan masyarakat untuk penyelesaian dalam urusan-urusan
khusus atau istimewa didasarkan pada nilai-nilai adat dan kearifan lokal yang
berpihak kepada rakyat; c. menentukan hari-hari libur yang diikuti dengan
upacara-upacara adat berdasarkan tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh;
d. Kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d terkecuali bagi instansi tertentu
dalam pelayanan publik sesuai dengan kekhususan Peraturan Perundang-Undangan; e.
Melakukan kerjasama dengan negara-negara lain; f. Menetapkan/mengumumkan
ketentuan-ketentuan adat, hari-hari besar adat dan memfasilitasi penghadapan
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi menerima anugerah adat).
Pasal 14 meliputu ayat (1) Protokoler Lembaga Wali Nanggroe dilakukan dengan segala
perangkatnya sesuai dengan tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh; dan ayat (2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Reusam Wali Nanggroe.
Pasal 15 meliputi ayat (1) Keuangan Lembaga Wali Nanggroe bersumber dari: a. APBN; b.
APBA; c. Sumber Lainnya yang sah dan tidak mengikat. Ayat (2) Pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan keuangan. Ayat (3) Pengelolaan keuangan yang
bersumber dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c diatur dengan Reusam/Pengaturan
wali Nanggroe.
Dan ayat (4) Pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBA
dilaksanakan oleh Keurukon Katibul Wali sebagai satuan kerja perangkat Aceh.
Pasal 16 meliputi ayat
(1) Anggaran belanja lembaga Wali
Nanggroe terdiri dari; a. Belanja tidak langsung; dan b. Belanja langsung. Ayat (2) Belanja tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari ; a. Belanja personil;
dan b. Belanja non personil. Ayat (3)
Belanja langsung sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperuntukan bagi pelaksanaan
program dan kegiatan kelembagaan wali Nanggroe. Dan Ayat (4) Belanja personil dan non personil sebagimana dimaksud
pada ayat (3) disusun berdasarkan kebutuhan dan ditetapkan dengan
peraturan/Reusam Wali Nanggroe.
Sementara dalam pasal 98 UUPA
menyebutkan bahwa :
Ayat (1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi
masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Ayat (2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh
melalui lembaga
adat.
Ayat (3) Lembaga adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi: a. Majelis Adat Aceh; b.
imeum mukim atau nama lain; c. imeum chik atau nama lain; d. keuchik atau nama lain; e. tuha peut atau nama lain; f. tuha lapan atau nama
lain;
g. imeum meunasah atau nama lain; h. keujreun blang atau nama lain; i. panglima laot atau nama lain; j. pawang glee atau nama lain; k. peutua seuneubok atau nama lain; l. haria peukan atau nama lain; dan m. syahbanda atau nama lain.
Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan
kewajiban lembaga adat,
pemberdayaan adat, dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
g. Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3) qanun dimaksud dihapus, karena bertentangan dengan Pasal 1
angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan
adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”.
Dengan demikian, Wali Nanggroe bukan peralihan perangkat kerajaan seperti yang
disebutkan dalam qanun ini.
Bunyi pasal 17 ayat (2) dan (3) dalam
Qanun Wali Nanggroe adalah:
Ayat (2) Benda yang tidak bergerak sebagaimana dimaksud ayat (1)
dengan bunyi “Harta kekayaan Lembaga Wali Nanggroe merupakan benda yang
bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang telah dipisahkan dari pemerintah dan/atau Pemerintah
Aceh” yang sumber dananya berasal dari APBA/APBN berlaku sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (3) Benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak dari
peninggalan sejarah Aceh baik yang berada di dalam dan luar negeri akan diatur
dalam tatanan Rumah Tangga Lembaga Wali Nanggroe; dan benda yang bergerak dan
atau benda tidak bergerak dari peninggalan sejarah Aceh yang berada luar negeri
dilakukan konsultasi dengan Pemerintah Pusat jika dianggap perlu".
Sementara
dalam Pasal
1 angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan
adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”.
By Safrizal / HIMIPOL UNIMAL
Sumber :
Tidak ada komentar: